Wanita dan Perempuan: Bagaimana pemahamannya kini?

Ketika masa pergerakan nasional, Kelompok2 perempuan lebih banyak menggunakan kata Perempuan untuk nama organisasinya, misalnya Perempuan Indonesia dan Kongres Perempuan Indonesia tapi juga ada lembaga yang menggunakan kata wanita misalnya Wanita Taman Siswa. Pada saat itu kelompok2 tersebut tidak membedakan istilah perempuan dan wanita. Bagi mereka istilah itu sama saja. Bahkan ada yang memakai istilah Isteri yang artinya merujuk pada perempuan. Namun pada periode pendudukan Jepang, Istilah perempuan dikonotasikan menjadi berbeda. Istilah perempuan banyak merujuk pada Jugunyanfu. Jugunyanfu adalah perempuan pribumi yang dipaksa oleh Jepang untuk melayani kebutuhan seksual tentara Jepang dan perempuan menjadi konotasi yang buruk pada saat itu. Sehingga pada era awal kemerdekaan istilah yang dipakai merujuk pada wanita. Kita bisa lihat nama2 oraganisasi yang muncul pada saat itu antara lain Persatuan Wanita Republik Indonesia, Kongres Wanita Indonesia dan lain-lain.Jadi sesugguhnya secara kultur pada saat itu tidak melihat perbedaan istilah antara perempuan dan wanita. Namun, pada periode Orde Baru. Penguasa pada saat itu melakukan penghancuran gerakan perempuan dengan mendefenisikan Wanita yang baik adalah perempuan yang mau diatur terhadap suami dan lain-lain. Sedangkan istilah perempuan kemudian dikonotasikan tidak jauh berbeda seperti zaman pendudukan jepang yaitu perempuan pelacur. Hal ini yang kemudian menjadikan istilah wanita menjadi benar2 wani ditata. Dan bentuk perlawanan kelompok2 perempuan pada saat itu adalah menentang perempuan yang hanya tunduk terhadap laki2 tanpa punya hak untuk menentukan dirinya sebagai manusia yang seutuhnya.
Perubahan pengertian antara wanita dan perempuan sampai saat ini masih merujuk pada kepentingan politik yang ingin menghancurkan gerakan perempuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia – KBBI, PEREMPUAN adalah jenis kelamin, yakni orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. WANITA adalah perempuan yang sudah dewasa.
Secara bahasa, jawabannya adalah AMELIORASI. Kata wanita mengalami proses perubahan makna yang kian positif. Sedang perempuan mengalami proses PEYORASI, yang merupakan kebalikannya. Namun mengapa juga terjadi amelio/peyo-rasi? Karena budaya, negara, agama, sosial masyarakat, tidak menghendaki “perempuan” atau “wanita” – yang digunakan untuk menunjuk kaum hawa – menjadi sosok yang independen. Yang sederajat dengan laki-laki. Yang berhak menentukan inginnya sendiri. Yang turut memberikan sumbangsih bagi kemaslahatan.
Kata PEREMPUAN dapat digunakan untuk segala usia (perempuan kecil, perempuan dewasa atau perempuan tua) tetapi kita tidak lazim menyebutkan bayi yang baru lahir itu adalah WANITA.
Wanita, dalam peresepsi kultural (Jawa) dipahami sebagai “wani ditata”, berani ditata, atau bersedia diatur (oleh pria). Feodalisme dalam kata “wanita” sangat tampak, yakni bahwa pria adalah pihak yang memiliki kuasa penuh atas wanita. Wanita adalah sosok yang ‘menjadi’ sebagaimana diinginkan pria. Wanita mengobjekkan dirinya kepada pria. Dia menjadi abdi bagi pria. Sebagai abdi, tentunya posisi wanita lebih rendah dari pria. Tanpa pria, wanita tak berarti apa-apa. Sifat yang melekat dari wanita juga cenderung pasif, seperti: lemah, gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, berdarma, berbakti, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Karena itulah akhirnya lahir istilah wanita sebagai kanca wingking atau suargo nunut neroko katut.

Dalam pemahaman budaya Jawa, seorang pria baru dikatakan sebagai lelananging jagat (lelaki sejati) jika ia telah memiliki harta (berlimpah), senjata (ampuh), tahta (tinggi), dan wanita (banyak). Di sinilah eksistensi wanita sebagai makhluk Tuhan benar-benar dinihilkan, sebab wanita dianggap sebagai barang atau benda.
Sedangkan perempuan, berasal dari kata “empu” yang berarti tuan, orang yang mahir, berkuasa, hulu, atau yang paling besar. Kata perempuan berhubungan dengan “ampu sokong”, yakni memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali. Perempuan seakar juga dengan kata Puan, yang merupakan sapaan hormat kaum hawa. Merupakan pasangan kata Tuan bagi laki-laki. Oleh karena itu perempuan sejajar dengan laki-laki. Bahkan lebih tinggi karena “empu”nya.
Atau dalam kesusastraan Melayu Klasik kita mengenal kata EMPUAN yang juga berarti "perempuan" yakni sebuatan bagi istri raja. Mungkin dari situlah muncul kata PEREMPUAN yang lebih kurang berarti "orang yang dimuliakan atau yang dihormati".

Bagi saya pribadi, apapun istilah yang digunakan tidak menjadi masalah selama kita menggunakan persepsi yang positif. Tetapi kenapa kemudian muncul istilah kesetaraan gender?apakah wanita/perempuan ingin menjadi sama seperti laki-laki?
Istilah ini sering pula dilahap atau diadopsi kalangan NGO/LSM di mana-mana dalam mencitrakan organisasi mereka yang menghargai HAM. Sayangnya kebanyakan masih sekedar diadopsi hanya sebagai sebuah persyaratan saja bukan dalam tataran ”action” yang sebenarnya. Persepsi seperti inilah yang harus diluruskan. Jika merujuk wanita dalam kultur Jawa, jangan sampai diartikan bahwa wanita/perempuan menjadi abdi bagi pria, harus ada pemahaman yang sama bahwa itu merupakan wujud 'meninggikan martabat' wanita/perempuan. Begitu juga dalam konsep agama, setiap larangannya jangan diartikan sebagai bentuk pengekangan.
Berbagai sumber

1 komentar:

  1. Terima kasih infonya...bisa menjadi salah satu bahan untuk diskusi.

    BalasHapus