"Tidak bisa perubahan Kurikulum 2013 ditunda hingga tahun depan. Implementasinya secara bertahap tetap harus dimulai tahun ajaran nanti. Jika kita menunda, taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam pengarahan tentang Kurikulum 2013 di kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah, di Semarang"
muatan dalam kurikulum 2013 |
Dimulai tahun ajaran baru 2013/2014 pemerintah akan menggunakan kurikilum baru yang hingga saat ini disebut sebagai "kurikulum 2013". Berbagai respon dari masyarakat maupun para praktisi pendidikanpun banyak bermunculan. Sebetulnya ada apa dengan sistim pendidikan di Indonesia?Apakah peningkatan mutu pendidikan hanya bisa dilakukan dengan melakukan perubahan kurikulum?. Dalam sebuah tulisan menyebutkan bahwa dimunculkannya kurikulum 2013 sebagian sebagai respons atas tawuran pelajar dan mahasiswa yang marak, dan sinyalemen keras bahwa kurikulum kita saat ini overloaded, terlalu banyak mata pelajaran yang disajikan di sekolah. Kemudian mata pelajaran IPA dan IPS dihapus di SD, dimasukkan secara tematik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, atau Kewarganegaraan. Disinyalir jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak telah menyebabkan pembelajaran dangkal, bukan mendalam.
Dalam draftnya, kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi pengembangan pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah peningkatan efektifitas belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru, menjadi kunci. Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 tahun. Yang ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga strategi ini tentu perlu kita apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud memberi catatan kritis atas strategi tersebut.
Catatan pertama, ketiga dimensi strategi tersebut saling berkaitan, bukan besaran yang berdiri sendiri. Harus dikatakan bahwa dimensi pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Ini telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun yang lalu dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini : semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah, semakin besar anggaran pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya tidak semakin terdidik.
Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi kedua, yaitu, semakin lama bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah) semakin baik. Lalu semakin lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin baik. Asumsi ini hanya valid bila dimensi pertama valid, artinya, pembelajaran terjadi secara efektif. Jika asumsi ini tidak valid, semakin lama seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari, justru semakin buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi ini sangat dipengaruhi oleh schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka.
Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih bersifat kuantitatif relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya ketersediaan anggaran. Semakin besar anggaran, semakin baik. Sementara dimensi pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit. Untuk dimensi pertama inilah, praktek pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya proses pembelajaran di banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif: tidak membangun karakter dan kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar hidup sehat dan produktif.
0 komentar:
Posting Komentar