Oleh : Lucia Yuningsih
I. Pengantar
Sejarah migrasi wanita pribumi di pulau Jawa terkait erat dengan perluasan ekonomi kapitalistik Barat1. Perluasan ekonomi tersebut dijalankan oleh para pemilik modal swasta melalui perluasan dan pembukaan perkebunan, industri dan pertambangan, baik di dalam pulau Jawa, pulau Sumatera maupun pulau Kalimantan. Berbagai perkebunan maupun industri yang diperluas maupun sedang dibuka, membutuhkan tenaga kerja dari berbagai wilayah yang jumlahnya banyak, baik tenaga kerja laki-laki maupun wanita. Di berbagai perkebunan seperti perkebunan tebu, kopi dan tembakau, ada berbagai pekerjaan yang diberikan pada wanita antara lain: menanam, memanen, memelihara tanaman, memupuk, melipat daun tembakau, menyiangi rumput, dan memetik biji kopi, sedangkan pekerjaan seperti: menyiapkan lahan, membalik tanah, menebang, mengangkut hasil panen dari ladang ke gudang dan pabrik, diberikan pada laki-laki.
Demikian pula dalam sektor industri, berbagai pekerjaan yang dipandang “ringan” seperti memilih (menyortir) biji kopi, mengepak gula, pembantu rumah tangga dikerjakan oleh wanita. Kehadiran buruh wanita sangat penting dalam ekonomi kapitalistik Barat, sebab dalam hal ini wanita merupakan modal ekonomi, merupakan bagian dalam proses produksi yang murah, sehingga menguntungkan para pemilik modal. Perluasan dan pembukaan perkebunan dan industri telah membuka kesempatan baru pada wanita untuk bekerja di luar rumah. Dalam konteks ini, secara tidak langsung wanita menjadi terlibat dalam lalu lintas ekonomi dunia. Migrasi wanita terkait juga dengan pergeseran nilai dalam diri wanita itu sendiri dan masyarakatnya. Wanita berani mengambil kesempatan kerja di luar rumah, di sektor perkebunan atau industri yang kadang-kadang relatif jauh dari rumah dan keluarganya. Keberanian ini didorong oleh desakan untuk dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Pergeseran dalam sistem nilai, dapat dilihat dari dukungan keluarga dalam bentuk pemberian ijin bagi wanita yang sudah menikah, janda maupun wanita yang belum menikah, untuk bekerja di luar rumah, selama 1 sampai 2 tahun.
Pemberian ijin dari keluarga bagi wanita yang bekerja bekerja di luar rumah juga karena tuntutan dari pemerintah Belanda. Migrasi wanita didorong oleh terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur sosial ekonomi di dalam masyarakatnya sebagai dampak dari praktek kolonial. Liberalisasi ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan sistem upah yang dibayarkan dalam bentuk uang, telah menyebabkan ekonomi uang meresap dalam kehidupan penduduk pedesaan. Monetisasi menyebabkan penduduk menjadi tergantung pada uang. Penduduk membutuhkan uang untuk berbagai keperluan seperti membayar pajak, membeli barang-barang kebutuhan hidup termasuk kebutuhan-kebutuhan yang menjadi bagian dari gaya hidup. Dalam masyarakat pedesaan, kebutuhan ekonomi dipikul bersama oleh seluruh keluarga.
Dalam pengertian ini, pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak hanya menjadi tanggung jawab kaum laki-laki saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab kaum wanita. Oleh karena itu, ketika pendapatan keluarga tidak mencukupi, maka wanita mempunyai kewajiban untuk mengatasi krisis ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai buruh. Dengan demikian, wanita mempunyai peran yang sangat penting dalam sektor ekonomi. Proses migrasi dimungkinkan karena adanya agen tenaga tenaga kerja. Untuk mendapatkan tenaga kerja wanita, para agen tenaga kerja bekerja sama dengan para kepala desa. Penguasa desa inilah yang mempengaruhi atau “merayu” keluarga untuk mengijinkan para wanita bekerja di luar rumah. Selain para agen tenaga kerja, proses migrasi dipermudah dengan pemberian uang muka sebagai bentuk ikatan kerja dan tersedianya sarana dan prasarana transportasi.
Tulisan ini masih merupakan penelitian awal yang dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai berbagai persoalan: 1) mengapa wanita pribumi Jawa melakukan migrasi?. Dalam konteks ini, perlu dijelaskan faktor pendorong dan penarik migrasi wanita. Persoalan-persoalan di daerah asal dan kemajuan ekonomi di wilayah tujuan sebagai dampak dari praktek ekonomi kapitalisme Barat perlu dijelaskan. 2) Bagaimana proses migrasi wanita pribumi Jawa? Apa peran para agen tenaga kerja dan kepala desa, serta sarana dan prasarana transportasi dalam proses migrasi? 3) Bagaimana arah dan model migrasi wanita pribumi Jawa? Dalam hal ini akan dijelaskan wilayah-wilayah mana saja yang menjadi tujuan migrasi, serta berbagai model atau pola migrasi wanita. 4) Berkaitan dengan persoalan wanita, bagaimana budaya Jawa mengakomodasi kepentingan ekonomi wanita dan sejauh mana pergeseran nilai itu memberi kesempatan pada wanita untuk bekerja di luar rumah? 5) apa pengaruh depresi 1930 terhadap migrasi wanita?.
Migrasi wanita pribumi Jawa penting untuk dijelaskan sebab: 1) kajian migrasi wanita pribumi Jawa khususnya periode kolonial belum banyak dibicarakan. Kajian migrasi yang ada lebih menitik beratkan pada kajian yang bernuansa maskulin, artinya migrasi dipandang sebagai kegiatan laki-laki bukan kegiatan wanita. Dengan demikian, sejarah migrasi adalah sejarah migrasi kaum laki-laki. 2) Migrasi wanita pribumi terkait erat dengan perkembangan ekonomi kapitalistik. Dalam konteks ini, wanita sebagai salah satu pelaku ekonomi seringkali tidak diperhitungkan. Padahal wanita dengan keuletannya dan cucuran keringat telah memberi keuntungan yang besar pada para pemilik modal. 3) Wanita Jawa yang hidup dalam budaya yang patriarkhis, mampu mendobrak tradisi yang mengikat. Bekerja di luar rumah, di tempat yang relatif jauh, dalam waktu yang relatif lama, dan menggantikan beberapa pekerjaan di perkebunan, yang semula didominasi kaum laki-laki, merupakan suatu pendobrakan. 4) Tulisan tentang migrasi wanita juga dimaksudkan untuk memberi ruang pada keberadaan wanita sebagai bagian sejarah masyarakatnya.
Periode tahun 1870 merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Jawa, karena pada masa itu pemerintah Hindia Belanda menjalankan politik ekonomi liberal. Kebijakan itu telah memberi andil yang besar bagi semakin intensifnya kegiatan migrasi wanita terkait dengan perluasan ekonomi kapitalistik Barat. Periode kajian tentang migrasi wanita dibatasi sampai tahun 1942, yakni periode masuknya Jepang di tanah Jawa. Tulisan ini hendak menjelaskan migrasi wanita pribumi Jawa selama kurun waktu 72 tahun, selama masa kolonial Belanda. Dalam kurun waktu yang relatif lama itu akan dapat dilihat perkembangan ataupun perubahan-perubahan migrasi wanita. Pulau Jawa dipilih sebagai batasan wilayah dalam tulisan ini, karena pulau Jawa mempunyai jumlah penduduk yang lebih banyak dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, yang berarti mempunyai tenaga kerja yang relatif banyak. Selain itu, pulau Jawa memiliki pusat-pusat ekonomi, baik yang berupa perkebunan, pabrik, industri, jasa, maupun perdagangan.
II. Migrasi Wanita: Konsep, Latar Belakang dan Proses Migrasi
A. Batasan Migrasi Wanita
Batasan wanita pribumi Jawa dalam tulisan ini adalah wanita kelas bawah atau “wong cilik”, yang mencakup: 1) wanita tidak bertanah, yang memang berprofesi sebagai buruh pertanian ataupun non pertanian, 2) wanita petani yang mempunyai tanah dan mereka bekerja sebagai buruh untuk mengisi waktu luang sambil menunggu datangnya panen. Artinya petani wanita menjadi buruh untuk pekerjaan sampingan. Berkaitan dengan migrasi, Everett S. Lee mengatakan bahwa migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Dalam konsep ini tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yakni apakah perpindahan itu bersifat sukarela atau terpaksa, serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi luar negeri.
Tindakan migrasi dipengaruhi oleh 4 faktor yakni: 1) faktor yang berkaitan dengan daerah asal, 2) faktor yang berkaitan dengan daerah yang dituju, 3) faktor-faktor rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan, dan 4) faktor individu. Wanita pribumi Jawa melakukan migrasi karena dipengaruhi oleh empat faktor tersebut. Daerah asal dan daerah tujuan migrasi masing-masing mempunyai faktor positif dan negatif. Faktor positif diartikan sebagai faktor yang memberikan nilai menguntungkan kalau bertempat tinggal di daerah itu, sedangkan faktor negatif diartikan sebagai faktor yang memberikan nilai tidak menguntungkan pada daerah yang bersangkutan. Oleh karena faktor negatif itu, wanita Jawa terdorong untuk melakukan migrasi, agar kebutuhannya terpenuhi.
Menurut teori kebutuhan dan tekanan (need and stress), keputusan seseorang melakukan migrasi terkait erat dengan masalah kebutuhan yaitu kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka seseorang dapat menjadi tertekan atau stress. Hal inilah yang mendorong wanita Jawa melakukan migrasi agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi. Akan tetapi jika kebutuhan-kebutuhan itu dapat dipenuhi maka orang tidak akan migrasi. Berkaitan dengan faktor rintangan antara, bahwa besar kecilnya arus migrasi dipengaruhi oleh rintangan antara, seperti misalnya sarana dan prasarana transportasi, tekanan pekerjaan dari pemerintah dan pajak. Dalam kaitannya dengan migrasi wanita pribumi Jawa, arus migrasi dipermudah dengan tersedianya faktor sarana dan prasarana transportasi darat.
Dibangunnya jalur kereta api dan jalan raya di pulau Jawa mempermudah pengangkutan barang dan orang dari satu daerah ke daerah lain khususnya wilayah-wilayah yang menjadi pusat pusat-pusat ekonomi dan daerah perkotaan. Menurut Everett Lee, masing-masing individu yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah dan mereka yang membuat keputusan akan pindah dari daerah asal atau tidak. Daerah asal yang dinilai negatif dalam arti kurang mampu memberi jaminan hidup lebih baik, merupakan faktor pendorong wanita pribumi Jawa untuk migrasi. Apabila nilai negatif daerah asal lebih banyak dibandingkan dengan nilai negatif daerah yang dituju, maka wanita itu sendiri yang akan memutuskan untuk migrasi atau tidak. Selanjutnya Everett S. Lee mengatakan bahwa besar kecilnya arus migrasi juga dipengaruhi oleh adanya sejumlah perbedaan antar tempat baik yang berkaitan dengan faktor ekonomi, sosial maupun politik, sarana transportasi, dan biaya pindah.
Migrasi dapat dikelompokkan dalam migrasi permanen dan non permanen termasuk di dalamnya migrasi musiman dan sirkuler atau ulang alik. Migrasi permanen adalah gerak penduduk yang melintasi batas wilayah asal menuju ke wilayah lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan, sedangkan perpindahan penduduk dengan tidak ada niatan menetap disebut migrasi non permanen. Migrasi wanita pribumi Jawa dapat dikategorikan dalam migrasi permanen dan non permanen.
B. Latar Belakang Migrasi Wanita: Daerah Asal dan Daerah Tujuan
Mengapa wanita pribumi Jawa melakukan migrasi? Ada berbagai faktor yang mendorong dan menarik wanita melakukan migrasi. Faktor-faktor pendorong migrasi berkaitan dengan berbagai persoalan wilayah asal, apakah itu yang mencakup persoalan ekonomi, kesempatan kerja, bencana alam atau epidemi, sedangkan faktor-faktor penarik mencakup pertumbuhan ekonomi wilayah tujuan, upah dan fasilitas kerja, pemberian uang muka.
B. 1. Daerah Asal
Daerah asal migrasi wanita mencakup seluruh wilayah Jawa, demikian pula dengan daerah tujuan migrasi. Artinya bahwa setiap wilayah di dalam pulau Jawa, menjadi wilayah penerima migran atau sebaliknya. Persoalan-persoalan daerah asal antara wilayah satu dengan wilayah lainnya tidak sama. Dengan demikian penyebab wanita melakukan migrasi antara wilayah satu dengan wilayah lainnya juga tidak sama. Secara umum persoalan daerah asal yang menjadi pendorong wanita melakukan migrasi adalah: pertama, berkurangnya lahan pertanian penduduk sebagai akibat penyewaan tanah sawah. Penduduk menyewakan sebagian atau seluruh tanahnya pada para penyewa untuk mendapatkan uang kontan guna membayar pajak dan membeli barang-barang yang menjadi bagian dari gaya hidup. Akibat penyewaan, tanah sawah yang tersisa tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Oleh karena itu, mereka pergi migrasi untuk mencari pekerjaan sambilan sebagai buruh.
Demikian pula dengan para petani gurem yang menggadaikan seluruh tanahnya pada para pemberi pinjaman, ketika mereka tidak mampu membayar utang dengan bunganya, maka tanahnya diambil oleh para pemberi pinjaman. Oleh karena itu, para petani gurem beserta seluruh keluarganya melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan sebagai buruh di perkebunan atau pabrik di luar wilayahnya. Dalam konteks ini, wanita dari petani gurem ikut migrasi dan bekerja sebagai buruh untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Kedua, kegagalan panen menyebabkan makanan untuk keluarga berkurang.
Kondisi ini mendorong penduduk migrasi menuju wilayah yang dapat memberikan makanan bagi keluarganya. Persoalan epidemik yakni berjangkitnya berbagai wabah penyakit di beberapa wilayah, misal wabah kolera di Banten; cacar, malaria, influensa, dan kolera di Grobogan awal abad ke-20; wabah cacar dan kolera di Demak dan Grobogan dalam tahun 1893- 1895 dan tahun 1900-1902, telah mendorong penduduk melakukan migrasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wanita melakukan migrasi karena ingin keluar dari batasan-batasan berjangkitnya wabah penyakit, kelaparan yang disebabkan panen gagal, ingin hidup lebih baik dan untuk menopang gaya hidup. Ketiga, migrasi wanita karena didorong oleh faktor kemiskinan. Elson mengatakan bahwa faktor kemiskinan yang mendorong penduduk Jawa melakukan migrasi.
Menurut Elson, sebagian besar tenaga kerja gula datang dari tingkat masyarakat desa termiskin, yang hanya mempunyai sedikit tanah atau tidak mempunyai tanah sama sekali dan bergantung pada pendapatan tambahan yang mereka peroleh dari pekerjaan pabrik. Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh G.R. Knight, bahwa pekerja di pabrik sebagian berasal dari luar perbatasan areal pabrik, yang pada umumnya adalah petani yang tidak mempunyai tanah. Keempat, terbatasnya kesempatan kerja bagi kaum wanita di daerah asalnya. Terbatasnya kesempatan kerja bagi wanita berkaitan erat dengan daerah asal yang kurang potensial untuk perkebunan maupun industri dan tingkat kepadatan penduduk.
Faktor-faktor yang saling berkaitan itu mendorong wanita untuk melakukan migrasi. Kelima, dalam masyarakat pedesaan, wanita dan laki-laki mempunyai peran dan kewajiban yang sama dalam usahanya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Wanita bekerja membantu suami di sawah, mencari kayu bakar, menggembala ternak, mencari rumput untuk ternaknya, berjualan hasil kebun di pasar, bekerja sebagai buruh tani seperti buruh “nderep” padi di sawah tetangga, merupakan hal yang biasa. Akan tetapi wanita bekerja di luar rumah dalam jarak yang relatif jauh, dalam waktu yang relatif lama, merupakan sesuatu yang kurang bisa diterima masyarakat Jawa pada masa itu (kolonial).
Dalam perkembangannya, oleh karena desakan ekonomi, penawaran kerja, dan terbukanya pusat-pusat ekonomi bagi tenaga kerja wanita, telah mendorong terjadinya pergeseran nilai dalam budaya Jawa. Dalam pengertian ini, budaya jawa memberi “kelonggaran” pada wanita untuk bekerja di luar rumah. Dapat dikatakan bahwa wanita bermigrasi untuk mengatasi krisis ekonomi keluarga.
B.2. Daerah Tujuan Migrasi
Pada umumnya, wilayah tujuan migrasi adalah pusat-pusat ekonomi seperti wilayah perkebunan, industri maupun wilayah perkotaan. Perkebunan tebu, kopi, tembakau, teh, dan jasa khususnya pembantu rumah tangga merupakan usaha-usaha yang membutuhkan banyak tenaga wanita. Pusatpusat ekonomi tersebut menarik migrasi wanita karena menyediakan berbagai lapangan kerja, upah kerja, dan fasilitas kerja. Daerah-daerah perkebunan tebu dan pabrik gula di West-Java yang menjadi wilayah tujuan migrasi antara lain: Batavia, Buitenzorg (Bogor), Krawang, Priangan. Wilayah Midden-Java yang menjadi wilayah tujuan migrasi antara lain: Cirebon, Probolinggo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, sedangkan wilayah Vorstenlande yakni Surakarta dan Yogyakarta. Wilayah Oost-Java yang menjadi wilayah tujuan migrasi antara lain: Pasuruan dan Surabaya. Wilayah yang signifikan merekrut buruh adalah Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang.
Daerah Perkebunan kopi yang menjadi wilayah tujuan migrasi antara lain: Semarang, Surakarta, Krawang dan Buitenzorg, sedangkan Perkebunan nila yang menjadi wilayah tujuan migrasi adalah Yogyakarta. Pabrik gula Pekalongan-Tegal, sebagai salah satu wilayah tujuan, sampai tahun 1930 mengusahakan areal penanaman tebu seluas 18.000 ha. Areal ini membutuhkan buruh yang sangat banyak. Di pabrik gula Kalimati, kabupaten Batang pada tahun 1909 menggunakan 4200 buruh untuk menggarap lahan seluas 900 ha. Hal ini memberikan suatu gambaran betapa besar arus migrasi ke wilayah itu, karena kebutuhan pabrik akan tenaga kerja yang besar dari luar wilayah pabrik dan perkebunan. Wilayah Perkotaan yang menjadi tujuan migrasi antara lain: Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya. Batavia menarik wilayah tetangganya yakni Banten karena menyediakan berbagai lapangan pekerjaan.
Dalam tahun 1930 ada sekitar 50% penduduk Batavia, Bandung dan Surabaya berasal dari wilayah lain. Mereka bekerja di sektor perdagangan, jasa termasuk pembantu rumah. Penduduk yang datang ke kota sebagian adalah para petani yang menyewakan tanah pada pabrik, tetapi mereka sendiri kemudian bekerja di kota dan tidak mau bekerja di perkebunan gula. Dalam hal ini berarti ada perubahan dalam orientasi kerja. Nampaknya pekerjaan di sektor pertanian maupun perkebunan tidak lagi menarik bagi sebagian penduduk. Wilayah Industri yang menjadi tujuan migrasi antara lain: Batavia (11 industri), Semarang, (11 industri), Surabaya (60 industri), Kediri (10 industri), Cirebon (5 industri), Probolinggo dan Bagelen (masing-masing 4 industri), Yogyakarta (3 industri), Jepara, Pasuruan dan Surakarta (masing-masing 2 industri), Preanger, Tegal, Pekalongan, Rembang, Kedu (masing-masing 1 industri).
Wilayah Semarang sampai tahun 1926 memiliki berbagai industri yang menyerap tenaga kerja yakni: industri pers, komunikasi (telegraf, pos, telpun), transportasi (KA dan kapal laut), utility industries (gas, listrik dan air bersih), mebel, cat, tinta dan kaleng, juga minyak, obat nyamuk, es, limon, air mineral, pengolahan parfum dan permen, sandal, timbangan, tekstil, percetakan, jamu, tegel, beton, daging, konstruksi untuk perumahan.Oleh karena perkembangan industri di Semarang yang cukup pesat maka Semarang menjadi pusat industri yang penting29. Wilayah West-Java merupakan pusat manufaktur yang cukup penting. Pada tahun 1928, di West-Java terdapat 1298 pabrik dan meningkat menjadi 1406 di tahun 1929, sementara itu Bandung khususnya wilayah Majalengka mempunyai 1500 usaha.
Sebelum tahun 1920, wanita yang bekerja di pabrik gula di Jawa secara keseluruhan menyita waktu kerja 30% dari total waktu kerja di lapangan. Di pabrik gula Pekalongan-Tegal pada tahun 1908-1911, wanita dan anak-anak menjadi bagian besar dari angkatan kerja di setiap tahun. Di awal abad ke-20, wanita menopang sekitar 17% dari total tenaga kerja pabrik dan bekerja lebih lama dibandingkan laki-laki dan kemudian turun jumlahnya pada masa depresi ekonomi. Hal ini menunjukkan pentingnya buruh eanita pada sektor perkebunan dan industri. C. Proses Migrasi Proses migrasi wanita dari wilayah asal ke wilayah tujuan dapat berjalan karena adanya kerja sama antara agen pencari tenaga kerja dan kepala desa. Agen tenaga kerja yang disebut dengan istilah mandor, bertugas memobilisasi tenaga kerja atas nama pabrik.
Proses migrasi juga dipermudah dengan sistem pemberian uang muka sebagai tanda ikatan kerja oleh para pemilik modal yang diberikan lewat mandor. Di samping itu, proses migrasi juga didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana transportasi. Pembangunan jalan-jalan raya (kereta kuda) dan rel kereta api dapat membuka wilayah pedesaan dan menghubungkan dengan pusat-pusat ekonomi dengan mudah dan cepat.
Sejak akhir abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda membangun jalan kereta api dan jalan tram, demikian pula pihak swasta juga membangun jalan kereta api di pulau Jawa dan Sumatera. Jalan kereta api yang dibangun pemerintah Belanda yakni: jalur Buitenzorg-Jogyakarta dengan cabang-cabangnya, jalur Batavia-Tanjung Priuk. Jalan kereta api yang dibangun oleh swasta yakni jalur Semarang-Vorstenlanden-Willem I, jalur Batavia-Buitenzorg (lijnen der Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij), jalur Batavia-Kedung Gedeh (Bataviasche Ooster-Spoorweg). Jalan untuk tram bertenaga uap dibangun untuk jalur-jalur Semarang-Juana dengan cabang-cabangnya (Semarang- Joana Stoomtram-Maatschappij), jalur Batavia – Meester Cornelis - Kampung Melayu (Nederlandsch-Indische Stoomtram-Maatschappij), jalur Surabaya- Sepanjang dan Mojokerto-Ngoro dengan cabang-cabangnya (Oost-Java Stoomtram-Maatschappij), jalur Jogyakarta-Brosot (Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij).Semarang merupakan pusat pertemuan jalur-jalur KA: Nederlandsch-Indische Spoorweg, Semarang-Cirebon Spoorweg, dan Semarang-Joeana Spoorweg. Di samping itu, Semarang mempunyai jalan darat yang menghubungkan tempat-tempat penting di daerah pedalaman Jawa Tengah.
III. Arah dan Pola Migrasi
Pertama, migrasi wanita cenderung ke pusat-pusat ekonomi yakni ke perkebunan, pabrik gula dan industri, antara lain: Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Jepara, Yogyakarta, Surakarta, Priangan, Cirebon, Sukabumi, Pasuruan, Besuki, Batavia dan Surabaya Kedua, migrasi wanita ke pusat-pusat ekonomi yang relatif dekat, seperti penduduk yang migrasi ke Semarang berasal dari wilayah sekitarnya antara lain dari wilayah Demak, Grobogan, Salatiga, Ambarawa, Rembang dan Surakarta Walaupun ada juga sebagian yang migrasi ke wilayah yang relatif jauh. Ketiga migrasi wanita cenderung ke perkotaan, untuk bekerja di sektor non pertanian,seperti di sektor industri dan jasa sebagai pembantu rumah tangga.
Keempat, di Midden-Java dan Vorstenlanden, wanita cenderung lebih banyak melakukan migrasi dibandingkan laki-laki, demikian pula dari wilayah Oost-Java dan sebagian kecil West-Java yakni Cirebon, sedagkan sebagian besar wilayah West-Java seperti Tasikmalaya, Bandung, Batavia dan Ciamis, laki-laki yang lebih banya melakukan migrasi daripada wanita. Kelima, wanita pribumi yang melakukan migrasi adalah wanita pedesaan baik wanita dari keluarga yang memiliki tanah dan yang tidak memiliki tanah, yang melakukan migrasi untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Keenam, pola umum dari sifat migrasi wanita adalah migrasi musiman dan permanen. Migrasi musiman terutama di perkebunan tebu karena dipengaruhi oleh: 1), sistem penanaman yang digunakan, yakni sistem penggabungan penanaman tebu ke dalam siklus produksi domestik petani. 2) pekerjaan di lapangan dan di pabrik yang tidak lebih dari pekerja sambilan bagi migran musiman, dan mereka kembali ke pekerjaan utama setelah jasa mereka tidak dibutuhkan lagi.
Migrasi musiman nampak pada musim panen padi. Para wanita menjadi buruh “nderep”, pergi berkeliling atau pindah tempat dari sawah ke sawah desa, dan kegiatan migrasi itu nampak di seluruh Jawa. Sementara itu sejumlah besar pedagang keliling sibuk berkeliling menjual barang. Ketujuh, buruh migran wanita menerima upah yang dibayarkan dalam sistem upah harian ataupun mingguan. Upah kerja yang diterima wanita jumlahnya lebih rendah dari pada upah yang diterima laki-laki. Dalam berbagai bidang pekerjaan, pada umumnya upah yang diberikan pada wanita jumlahnya hampir separonya upah yang diberikan pada laki-laki.
Walaupun demikian, upah yang rendah tidak menyurutkan langkah wanita untuk melakukan migrasi. IV. Migrasi Wanita dan Depresi Ekonomi Bagi pemerintah kolonial dan para pemilik modal, masa depresi merupakan masa-masa yang suram. Sebagian industri tutup atau mengurangi produksinya karena turunnya permintaan pasar akan produknya. Dalam mengatasi situasi yang sulit ini, para pemilik modal melakukan penghematan dengan cara mengurangi jumlah tenaga kerja, wilayah operasi, jam kerja, hari kerja, upah kerja atau melakukan pemutusan hubungan kerja. Kelesuan ekonomi ini berpengaruh pada arus migrasi wanita ke perkebunan maupun sektor industri lainnya, sebab pusat-pusat ekonomi tersebut mengalami penurunan dalam proses produksi. Artinya peluang kerja bagi wanita untuk bekerja di sektor perkebunan maupun industri menjadi berkurang. Para buruh yang terkena pemutusan kerja pulang kembali ke daerah asalnya.
Dalam konteks ini, terjadilah arus balik migrasi dari pusat-pusat ekonomi ke daerah asal tenaga kerja. Akibatnya, daerah asal memikul beban ekonomi yang berat karena banyaknya pengangguran. Standart hidup penduduk merosot karena pendapatan berkurang. Di samping itu ekonomi pedesaan juga turun, karena harga hasil bumi seperti ketela, jagung, padi turun. Dampak yang lain dari depresi ekonomi yakni meluasnya kerusuhan di pedesaan, kasus yang paling banyak yakni pencurian bahan makanan. Walaupun banyak yang kembali ke desa, penduduk pedesaan tetap dapat bertahan hidup meskipun standart hidup turun. Petani mengganti tanaman eksport dengan tanaman pangan (pada, ketela, dll). Petani melakukan berbagai aktivitas seperti berburu, menangkap ikan, eksploitasi hasil hutan. Penduduk juga melakukan pengurangan penggunaan opium dan menggunakan barang impor yang murah, misal menggunakan tekstil dari India dan Jepang. Penduduk menanam dan mengkonsumsi umbi untuk mencukupi kalori. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan kalau Peter Boomgaard dan Ian Brown mengatakan bahwa periode depresi ekonomi tahun 1930 bukanlah periode suram bagi wilayah Asia Tenggara, demikianlah juga di wilayah Hindia Belanda.
V. Penutup
Wanita pribumi Jawa melakukan migrasi karena berbagai faktor yang berkaitan erat dengan kondisi daerah asal dan daerah tujuan migrasi. Ketika kebutuhan ekonomi tidak dapat dicarikan pemecahannya di daerah asal tetapi dapat dicarikan pemecahannya di daerah lain di luar wilayah tinggalnya, maka wanita melakukan migrasi. Keputusan migrasi itu juga terkait dengan semakin “longgarnya” budaya Jawa, sebagai akibat persoalan ekonomi keluarga. Dalam konteks ini, bagi wanita keputusan melakukan migrasi tidak sematamata merupakan keputusan pribadi tetapi sebagai hasil keputusan seluruh keluarga.
Tujuan wanita melakukan migrasi adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, wilayah yang menjadi tujuan migrasi wanita adalah pusat-pusat ekonomi seperti perkebunan, industri dan wilayah perkotaan yang menawarkan berbagai macam perkerjaan non pertanian. Pada umumnya pusat-pusat ekonomi yang didatangi wanita adalah pusatpusat ekonomi dan perkotaan yang jaraknya relatif dekat dengan daerah asalnya, sehingga ada rasa aman dan tenang karena dekat dengan keluarga. Kegiatan migrasi wanita berjalan dengan lancar karena didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana transportasi. Pembangunan jalan-jalan raya dan jalan kereta api yang menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lain khususnya wilayah pedesaan dengan pusat-pusat ekonomi, telah memudahkan migrasi wanita. Kelancaran proses migrasi juga karena peran aktifnya para mandor dan para kepala desa. Kedua kelompok sosial itu saling bekerja sama dalam perekrutan tenaga kerja wanita. Pemberian uang panjar atau uang muka dan berbagai fasilitas kerja yang ditawarkan para pemilik modal menarik wanita untuk migrasi.
Migrasi wanita antar wilayah di dalam pulau Jawa memiliki pola-pola atau kecenderungan yang sama, yakni: 1) migrasi wanita bergerak ke arah pusat-pusat ekonomi dan perkotaan. 2) Jarak migrasi pendek atau relatif dekat dengan daerah asalnya, 3) dilihat dari sifatnya, migrasi wanita adalah migrasi musiman dan migrasi permanen, 4) daerah asal migrasi adalah daerah yang dekat dengan jalur-jalur kereta api dan jalan-jalan raya, yang memudahkan mereka bergerak. Pergerakan migrasi sempat terganggu pada masa depresi ekonomi tetapi setelah ekonomi membaik migrasi wanita berjalan lagi seperti semula yakni migrasi yang dinamis.
Daftar Pustaka
Boeke, J.H., Prakapitalisme di Asia. Jakarta, Sinar Harapan,1983. Boomgaard, P., & A.J. Gooszen, Changing Economy in Indonesia, Volume 11, Population Trends 1795-1942. Amsterdam, Royal Tropical Institute, 1991.
----------------------- ,& Ian Brown, ed., Weathering the Storm, The Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression. Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2000.
Breman, Jan, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1986.
Dewi Yuliati, Dinamika Pergerakan Buruh Di Semarang, 1908-1926. Disertasi, Yogyakarta, UGM, 2005.
Dros, Nico, Changing Economy in Indonesia, Volume 13, Wages 1820-1940. Amsterdam, Royal Tropical Institute, 1992.
Elson, R.E., The End of Peasantry in South East Asia, A Social and Economic History of Peasant Livelihood, 1800-1990s. United States of America, St Martin’s Press, Inc., 1997.
Hancock, Peter James, Labour and Women in Java: A New Historical Perspective, dalam The Indonesian Quarterly, Vol. XXIV, N0.3, third quarter, 1996. Jakarta, Centre For Strategic and International Studes, 1996.
Houben, Vincent J.H., Perkebunan Swasta di Jawa Abad ke-19 Sebuah Kajian Ulang, dalam J. Thomas Lindblad, ed., J. Thomas Lindblad, ed., Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2000.
Knight, G.R., Kuli-Kuli Parit, Wanita Penyiang dan Snijvolk. Pekerja-pekerja Industri Gula Jawa Utara Awal Abad ke-20, dalam J. Thomas Lindblad, ed., Sejarah Ekonomi Modern Indonesia Berbagai Tantangan Baru. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2000.
Lee, Everett S., Teori Migrasi. Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, 2000.
Locher-Scholten, Elsbeth, Women and the Colonial State. Amsterdam, Amsterdam University Press, 2000.
Mantra, Ida Bagoes, Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1999.
--------------------------, Demografi Umum. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1991.
Uitgewerkt Vergelijkend Overzicht van de Uitkomsten der Spoor-en Tramweg- Exploitatie in Nederlandsch-Indie, dalam Koloniaal Verslag van 1897, Bijlage CC, No. 30
Volkstelling 1930, Deel I Inheemsche Bevolking van West-Java. Batavia, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, 1933.
Volkstelling 1930, Deel II Inheemsche Bevolking van Midden-Java en de Vorstenlanden. Batavia, Departement van Economische Zaken, 1934.
Volkstelling 1930, Deel III Inheemsche Bevolking van Oost-Java. Batavia, Departement van Economische Zaken, 1934.
0 komentar:
Posting Komentar