Alkisah, di pulau Madura ada sebuah desa, namanya Pakadhangan. Desa ini termasuk wilayah Kabupaten Sumenep. Seorang pandai besi sangat terkenal bernama Empu Keleng, Empu Keleng mempunyai seorang anak angkat bernama joko tole. Ayah kandung Joko Tole adalah seorang raja yang bernama Adipeday. Ia sedang bertapa di gunung Ghegher. Ibunya bernama Raden Ayu Pottre Koneng, bertapa di gunung Pajhuddhan, wilayah Pamekasan.
Saat itu Kerajaan Majapahit bertahta seorang raja bernama Sri Baginda Brawijaya. Ia memerintahkan membuat pintu gerbang besi yang besar dan megah. Empu Keleng dipanggil untuk ikut melaksanakan pembuatannya. Ia pun berangkat ke Majapahit.
Pintu gerbang Majapahit sudah dikerjakan selama setahun tetapi belum selesai. Para pandai besi merasa terlalu lama meninggalkan rumahnya untuk mengerjakan gerbang itu. Empu Keleng pun jatuh sakit. Joko Tole, ayahmu sedang sakit, berangkatlah segera ke Majapahit menengok ayahmu, kata Ibu Joko Tole. Joko Tole pun segera menyusul ayahnya di Majapahit. Pekerjaan di bengkel besi diserahkan kepada teman-temannya.
Setelah berjalan melewati beberapa desa, Joko Tole memasuki sebuah hutan yang lebat. Di situ ia bertemu seseorang Selamat datang Joko Tole, seru seorang yang mengenakan ikat kepala dan jubah hitam. Jangan terkejut, aku Adipeday, ayahmu, tambahnya. Joko Tole segera mencium tangan ayahnya.
Ayah Joko Tole menyampaikan bahawa membangun pintu gerbang besi Majapahit tidak mudah dan lama. Ia memberi bunga hutan yang harus dimakan. Kelak akan keluar pateri dari dalam pusar, setelah tubuh Joko Tole dibakar. Bunga hutan itu diterima Joko Tole dan dimakannya. Kemudian Joko Tole meneruskan perjalanannya dan ditemani adiknya bernama Agus Dewi.
Kedua bersaudara ini berjalan beriringan. Mereka asyik berbicara tetapi selalu waspada jika ada ancaman bahaya. Perjalanan mereka menuju pantai untuk menyeberangi selat Madura. Ketika tiba, betapa senangnya mereka melihat perahu. Sang nakhoda memerintahkan awak perahu untuk menyiapkan segalanya, namun ia tidak suka Joko Tole naik ke perahunya. Karena itu ia berbohong dengan mengatakan perahu sudah penuh.
Ternyata perahu itu tidak bisa berlayar, karena kesaktian Joko Tole. Setelah akhirnya Joko Tole dan Agus Dewi diperkenankan naik perahu, barulah perahu itu dapat berlayar.
Daratan pulau Jawa telah nampak. Perahu segera merapat ke dermaga. Tibalah mereka di kota Gresik. Di alun-alun, keduanya didekati oleh seorang lelaki, ia seorang Perdana Menteri yang diperintahkan untuk mencari kedua pemuda itu. Kalian tentu pemuda yang dalam impian raja Gresik. Kata sang perdana Menteri itu. Raja Gresik sangat gembira melihat kedatangan kedua anak muda itu. Keduanya dianggap anak sendiri. Setelah beberapa hari mereka tinggal di istana Gresik, Joko Tole mohon diri untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Sedang Agus Dewi tetap tinggal di istana, dan kelak akan dinikahkan dengan puteri kerajaan dan bertahta menjadi raja di Gresik.
Setelah Joko Tole sampai di Majapahit. Ia bertemu dengan Empu Keleng. Mereka saling melepaskan rindu. Sementara itu, Sang raja Brawijaya kecewa karena pintu gerbang belum beres. Saya minta laporan kenapa pekerjaan kalian belum siap? sabda sang Raja. Semua pandai besi terdiam. Kalian harus bekerja keras agar besok pagi bisa selesai, sabdanya lagi. Ketika melihat ada anak muda sang raja bertanya, Hai, siapa kamu anak muda? Hamba Joko Tole, anak Empu Keleng. Kata Joko Tole sambil menyembah. Ia menerangkan, hendak membantu ayahnya. Ia pun menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang dalam satu malam termasuk dihukum berat, bila tidak menepati janji.
Empu Keleng merasa disambar petir mendengar kesanggupan Joko Tole. Bila tidak berhasil, pasti Joko Tole akan menerima hukuman berat. Sebaliknya para pandai besi sangat girang. Sesudah tengah hari, Joko Tole ke tempat pembangunan pintu gerbang. Bapak-bapak sekalian, aku mempunyai pateri yang sangat hebat. Bakarlah badanku, dari dalam pusarku akan keluar pateri. Jika sudah keluar paterinya rendamkan badanku ke dalam kolam, kata Joko Tole meyakinkan. Badan Joko Tole dibakar dengan kayu, keluarlah benda cair putih dari pusarnya. Bagian-bagian pintu gerbang segera dilekatkan. Akhirnya pintu gerbang yang indah dan megah selesai dalam satu malam.
Raja Brawijaya sangat gembira menyaksikan pintu gerbang itu. Para pandai besi mendapat hadiah. Sedangkan Joko Tole menerima hadiah paling besar berupa perhiasan emas dan perak. Empu Keleng segera pulang ke Madura. Tolong bawalah semua hadiah dari Raja untuk ibu di rumah, kata Joko Tole. Saya akan tetap tinggal di Majapahit. Raja Brawijaya sangat berterima kasih kepada Joko Tole. Ia diangkat menjadi menteri Muda. Namanya diganti menjadi Menteri Kodapanole.
Pada suatu hari, salah seorang Bupati dari Blambangan memberontak Raja Brawijaya. Kau kuperintahkan meredam perlawanan Bupati Blambangan. Tenyata Bupati Blambangan telah melarikan diri ke hutan. Ia akhirnya berhasil menangkap Bupati itu. Raja Brawijaya semakin menaruh kepercayaan kepada Menteri Kodapanole. Ia dinikahkan dengan putri raja. Perayaan pernikahan berlangsung meriah.
Tidak lama kemudian, menteri Kodapanole memohon pulang ke Madura. Ia memerintah sebagai Bupati Sumenep. Ia sangat dicintai rakyatnya. Ayah angkatnya, Empu Keleng diajak untuk tinggal di Kabupaten. Aku ingin membangun desa, kata Empu keleng menolak ajakan secara halus dari Bupati Sumenep itu. Empu Keleng dan istrinya tetap tinggal di desa.
Pada suatu hari menteri Kodapanole sakit keras. Akhirnya ia meninggal dunia. Rakyatnya berkabung. Jenasah menteri Kodapanole dimakamkan di desa Lanjhuk. Sebuah desa yang tidak jauh dari kota Sumenep.
Saat itu Kerajaan Majapahit bertahta seorang raja bernama Sri Baginda Brawijaya. Ia memerintahkan membuat pintu gerbang besi yang besar dan megah. Empu Keleng dipanggil untuk ikut melaksanakan pembuatannya. Ia pun berangkat ke Majapahit.
Pintu gerbang Majapahit sudah dikerjakan selama setahun tetapi belum selesai. Para pandai besi merasa terlalu lama meninggalkan rumahnya untuk mengerjakan gerbang itu. Empu Keleng pun jatuh sakit. Joko Tole, ayahmu sedang sakit, berangkatlah segera ke Majapahit menengok ayahmu, kata Ibu Joko Tole. Joko Tole pun segera menyusul ayahnya di Majapahit. Pekerjaan di bengkel besi diserahkan kepada teman-temannya.
Setelah berjalan melewati beberapa desa, Joko Tole memasuki sebuah hutan yang lebat. Di situ ia bertemu seseorang Selamat datang Joko Tole, seru seorang yang mengenakan ikat kepala dan jubah hitam. Jangan terkejut, aku Adipeday, ayahmu, tambahnya. Joko Tole segera mencium tangan ayahnya.
Ayah Joko Tole menyampaikan bahawa membangun pintu gerbang besi Majapahit tidak mudah dan lama. Ia memberi bunga hutan yang harus dimakan. Kelak akan keluar pateri dari dalam pusar, setelah tubuh Joko Tole dibakar. Bunga hutan itu diterima Joko Tole dan dimakannya. Kemudian Joko Tole meneruskan perjalanannya dan ditemani adiknya bernama Agus Dewi.
Kedua bersaudara ini berjalan beriringan. Mereka asyik berbicara tetapi selalu waspada jika ada ancaman bahaya. Perjalanan mereka menuju pantai untuk menyeberangi selat Madura. Ketika tiba, betapa senangnya mereka melihat perahu. Sang nakhoda memerintahkan awak perahu untuk menyiapkan segalanya, namun ia tidak suka Joko Tole naik ke perahunya. Karena itu ia berbohong dengan mengatakan perahu sudah penuh.
Ternyata perahu itu tidak bisa berlayar, karena kesaktian Joko Tole. Setelah akhirnya Joko Tole dan Agus Dewi diperkenankan naik perahu, barulah perahu itu dapat berlayar.
Daratan pulau Jawa telah nampak. Perahu segera merapat ke dermaga. Tibalah mereka di kota Gresik. Di alun-alun, keduanya didekati oleh seorang lelaki, ia seorang Perdana Menteri yang diperintahkan untuk mencari kedua pemuda itu. Kalian tentu pemuda yang dalam impian raja Gresik. Kata sang perdana Menteri itu. Raja Gresik sangat gembira melihat kedatangan kedua anak muda itu. Keduanya dianggap anak sendiri. Setelah beberapa hari mereka tinggal di istana Gresik, Joko Tole mohon diri untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Sedang Agus Dewi tetap tinggal di istana, dan kelak akan dinikahkan dengan puteri kerajaan dan bertahta menjadi raja di Gresik.
Setelah Joko Tole sampai di Majapahit. Ia bertemu dengan Empu Keleng. Mereka saling melepaskan rindu. Sementara itu, Sang raja Brawijaya kecewa karena pintu gerbang belum beres. Saya minta laporan kenapa pekerjaan kalian belum siap? sabda sang Raja. Semua pandai besi terdiam. Kalian harus bekerja keras agar besok pagi bisa selesai, sabdanya lagi. Ketika melihat ada anak muda sang raja bertanya, Hai, siapa kamu anak muda? Hamba Joko Tole, anak Empu Keleng. Kata Joko Tole sambil menyembah. Ia menerangkan, hendak membantu ayahnya. Ia pun menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang dalam satu malam termasuk dihukum berat, bila tidak menepati janji.
Empu Keleng merasa disambar petir mendengar kesanggupan Joko Tole. Bila tidak berhasil, pasti Joko Tole akan menerima hukuman berat. Sebaliknya para pandai besi sangat girang. Sesudah tengah hari, Joko Tole ke tempat pembangunan pintu gerbang. Bapak-bapak sekalian, aku mempunyai pateri yang sangat hebat. Bakarlah badanku, dari dalam pusarku akan keluar pateri. Jika sudah keluar paterinya rendamkan badanku ke dalam kolam, kata Joko Tole meyakinkan. Badan Joko Tole dibakar dengan kayu, keluarlah benda cair putih dari pusarnya. Bagian-bagian pintu gerbang segera dilekatkan. Akhirnya pintu gerbang yang indah dan megah selesai dalam satu malam.
Raja Brawijaya sangat gembira menyaksikan pintu gerbang itu. Para pandai besi mendapat hadiah. Sedangkan Joko Tole menerima hadiah paling besar berupa perhiasan emas dan perak. Empu Keleng segera pulang ke Madura. Tolong bawalah semua hadiah dari Raja untuk ibu di rumah, kata Joko Tole. Saya akan tetap tinggal di Majapahit. Raja Brawijaya sangat berterima kasih kepada Joko Tole. Ia diangkat menjadi menteri Muda. Namanya diganti menjadi Menteri Kodapanole.
Pada suatu hari, salah seorang Bupati dari Blambangan memberontak Raja Brawijaya. Kau kuperintahkan meredam perlawanan Bupati Blambangan. Tenyata Bupati Blambangan telah melarikan diri ke hutan. Ia akhirnya berhasil menangkap Bupati itu. Raja Brawijaya semakin menaruh kepercayaan kepada Menteri Kodapanole. Ia dinikahkan dengan putri raja. Perayaan pernikahan berlangsung meriah.
Tidak lama kemudian, menteri Kodapanole memohon pulang ke Madura. Ia memerintah sebagai Bupati Sumenep. Ia sangat dicintai rakyatnya. Ayah angkatnya, Empu Keleng diajak untuk tinggal di Kabupaten. Aku ingin membangun desa, kata Empu keleng menolak ajakan secara halus dari Bupati Sumenep itu. Empu Keleng dan istrinya tetap tinggal di desa.
Pada suatu hari menteri Kodapanole sakit keras. Akhirnya ia meninggal dunia. Rakyatnya berkabung. Jenasah menteri Kodapanole dimakamkan di desa Lanjhuk. Sebuah desa yang tidak jauh dari kota Sumenep.
0 komentar:
Posting Komentar