Kritik Atas Kejiwaan Manusia Kontemporer: Sudut Pandang Psikologi Tradisional (Sufisme, Timur)

TAHAPAN perkembangan batin manusia yang berkembang di luar pengalaman manusia akan diri dan dunianya, berawal dari kondisi tertentu dan unik. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan perspektif. Tanpa perlu berdebat, kita bisa saja mengatakan bahwa sudut pandang “dari atas”, yang diwakili oleh manusia kontemporer dan manusia primordial, sangat jauh berbeda dari sudut pandang “dari bawah” yang tercermin dalam mentalitas manusia tradisional yang “terjatuh” (fallen).
Sekilas tampaknya gap ini tidak bisa diatasi. Karena jika rahmat Allah untuk makhluknya yang berakal ini sungguh tidak terbatas, maka perbedaan adalah konsekuensi logis dari rahmat tersebut. Tapi di luar itu, perkembangan evolusi spiritual manusia sekarang ini mencapai suatu titik balik. Kini manusia punya pilihan untuk melakukan reorientasi diri: atau menuju “ke atas” (Surga), atau meninggalkan semua kesemuan untuk mencapai aspirasi yang lebih tinggi dan mengikatkan dirinya secara penuh dalam “dunia ini”.
Manusia yang seperti ini adalah manusia yang berada dalam esensi yang sesungguhnya. Manusia-jiwa, atau manusia “dalam”. Manusia primordial mengamati dan mengalami dunia ini juga dari dalam, dari perspektif langsung dan persepsi yang segera muncul. Sementara manusia yang “terjatuh” mengamati dan mengalami dunia dari sisi sebaliknya. Karena ia terbuang dari surga, maka batinnya terhijab dari pengalaman langsung dan dari realitas objektif tentang Allah. Dan tiba-tiba ia mendapati dirinya berada di luar wilayah kenikmatan pengalaman batin.
Manusia tradisional mengamati dan mengalami dunia dari sisi luar ke dalam. Visinya mencakup suatu predisposisi (kecenderungan) alamiah tentang dimensi batin dan perspektif spiritual. Dunia sosial dan kulturalnya merefleksikan hasratnya untuk memandang keberadaannya sebagai sarana utama untuk memahami dirinya sendiri. Ia juga mengapresiasi pengetahuan yang diwahyukan, yang akan membimbing, membebaskan, dan menyelamatkannya. Sebaliknya manusia kontemporer mengamati dan memahami dunia dengan pandangan yang diarahkan pada bagian luar (permukaan) benda. Dimensi batin lepas dari akalnya yang dipenuhi keingintahuan. Singkatnya, seluruh perspektif spiritual dinilai tidak bisa dibuktikan, dan karena itu tidak relevan, sepanjang menyangkut diri manusia kontemporer.
Jika manusia primordial mengamati dirinya, maka ia juga mengamati suatu realitas obyektif yang merupakan kaca refleksi dari Realitas (yang sebenarnya). Jika seorang manusia yang “terjatuh” –dalam keadaan penuh penyesalan– ingin mengamati dirinya maka ia akan mendapati suatu subjektivitas yang merupakan refleksi dari disorientasi dan konflik-konflik emosi, yang terjadi karena perubahan mendadak yang dia alami. Manusia tradisional melihat citra Ilahi dalam bayangannya sendiri. Ia memahami bahwa dirinya adalah citra manusia yang berasal dari sumber ilahiah. Kemungkinan-kemungkinan ilahiah dalam kodratnya memungkinkan ia mengatasi berbagai keterbatasannya, untuk pada akhirnya mentransendir dirinya melalui pencarian pengalaman spiritual. Manusia kontemporer, di sisi lain, hanya melihat dirinya ketika ia menengok ke dalam. Mata egonya hanya melihat citra manusia, bentuk manusia yang murni.
Begitu juga, manusia tradisional melihat adanya bukti kekuasaan dan akal Tuhan dalam tanda-tanda dan berbagai simbol dalam alam. Sampai pada batas bahwa ia “menyaksikan kehadiran Tuhan di mana-mana”. Al-Qur’ân sendiri menyebutkan bahwa alam dan seluruh kosmos adalah sumber pengetahuan mengenai Tuhan dan dunia yang “tak terlihat”. Sebaliknya, manusia kontemporer melihat bahwa dalam tanda-tanda dan simbol-simbol alam terdapat sumber bagi kekuatan dirinya dan ekspresi dari akalnya sendiri. Sikap manusia terhadap alam terutama untuk menaklukan dan menghancurkan, ketimbang berusaha memahami alam sebagai sumber pengetahuan dan penyedia kebutuhan-kebutuhan duniawinya. Ia melihat suatu citra diri yang mendalam dalam alam dan kosmos, menyerupai sebuah sketsa kabur tentang diri yang sejati. Diri yang identitasnya tak lebih dari citra luar, tanpa substansi apa-apa dan tanpa jiwa.
Ini tidak lebih jelas dibanding proyeksi-proyeksi manusia kontemporer tentang kehidupan di planet lain. Warna biru misterius langit dan keindahan surga telah direduksi menjadi partikel-partikel atomis yang tak terbatas. Aspirasi manusia untuk melakukan transendensi telah direduksi hanya untuk menyelesaikan problem-problem tahun cahaya dan ketertarikan untuk mengira-ngira kecepatan cahaya. Ketika manusia modern sedang merenungkan kemungkinan adanya bentuk-bentuk kehidupan berakal lain –yang oleh manusia tradisional dimulai dari iblis sampai malaikat dalam suatu hirarki yang jelas– ia hanya memusatkan perhatian pada kualitas makhluk-makhluk luar angkasa itu. Dan ini hanya menimbulkan kengerian-kengerian, misalnya apakah makhluk-makhluk tersebut lebih cerdas, lebih maju, dan –yang paling celaka– lebih cerdas ketimbang kita.
Manusia tradisional, yang memiliki kapasitas untuk melihat ke dalam, mampu mempertahankan fokus pada sentralnya, baik dalam dirinya maupun dalam alam semesta. Pandangan tersebut akan segera mengantarkannya ke pusat dan asal-muasal dirinya, dan akhirnya akan menuju pada pusat Diri alam semesta. Mikrokosmos akan tercakup dalam visi makrokosmos, sehingga tahun-tahun cahaya akan mengalami disintegrasi menjadi pengalaman langsung, spontan, dan sintetis.
Sebaliknya manusia kontemporer yang berada jauh di luar eksistensi literalnya maupun lingkungannya, mengamati dengan cermat lubang hitam dan sumber-sumber gelombang (quasars) di luar angkasa yang seolah menjanjikan keterbatasan, dan kemampuan untuk menyerap atau menghilang yang tampaknya pas dengan hasrat bawah sadar manusia. Alih-alih berada di pusat atau asal dirinya, manusia kontemporer berada di daerah pinggir (periphery), dan tidak melihat sesuatu apapun selain tepian dunia yang telah dikenal. Ia ingin memahami diri dan lingkungannya dari sudut pandang yang sama sekali subjektif, tanpa dukungan dimensi batin Ruh, yang tanpa objektivitas yang hanya bisa didapat dari Allah. Lebih jauh, ia ingin mengobjektivasi suatu dunia yang sepenuhnya subjektif, yakni suatu dunia yang dibangun atas dasar fantasi dan ilusi, dengan kelima indra sebagai norma desisif, dan keputusan sebagai kriteria final. Ia melihat dunia sebagai suatu bentuk, permukaan, dan konsekuensi yang terelaborasi. Sedangkan dirinya adalah sebuah kendaraan yang sempurna, yang senantiasa siap berubah, dan sebagai pernyataan akhir dari hukum-hukum kemungkinan, tapi tanpa perkembangan batin dan tanpa ruh Allah yang bisa menghidupkan dan memberi daya.
Dari sudut pandang ilmiah, materi dan ruh saling berlawanan. Ada perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diakurkan. Keduanya saling mengingkari hak-hak masing-masing. Dari sudut pandang spiritual, materi dan ruh mewakili paradoks yang tercerahkan yang ada dalam realitas sebagaimana mestinya, seperti fakta dan kebenaran yang saling berhubungan dan mencapai keadaan harmonis. Menurut pandangan ini, materi dan ruh, pada sisinya yang paling luar bersentuhan dan bercampur dengan tahapan kritis realitas. Bahkan pun seandainya keduanya tampak sebagai norma yang terpisah. Sehingga materi yang paling halus hampir menyerupai ruh, sementara ruh yang paling kasar mendekati bentuk materi yang halus. Setiap paradoks spiritual sebenarnya menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan antara dunia-dunia yang asing. Di luar aspek paradoksal yang tak bisa diterangkan terletak kesatuan kebenaran.
Selama waktu ini, pandangan dunia ilmiah yang diterima hanya melihat karang yang menjadi pemisah antara materi dan ruh. Materi dan ruh dimapankan dalam tempat yang berbeda, dan menggalang pengikutnya masing-masing. Manusia kontemporer tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya berada dalam satu kutub dari realitas yang utuh. Sesungguhnya, kodrat sejati dari hubungan mereka bukan sesuatu yang bersifat transendental. Dengan kata lain, hubungan sejati manusia kontemporer mengatasi tatanan alam dan tidak bisa dijelaskan melulu lewat kata-kata.
Betapapun berbedanya mentalitas dan temperamen manusia kontemporer dari para pendahulunya yang telah mengalami perkembangan spiritual, dalam banyak hal ia masih menyisakan unsur-unsur, dalam entitasnya, yang merupakan bukti dari kemanusiaan awal, meski unsur-unsur tersebut sangat tersembunyi. Jika manusia seperti itu secara penuh diwakili oleh kekayaan dan kepenuhan jiwanya yang ia peroleh lewat pernyataannya tentang kebenaran sakral, maka manusia kontemporer hanya bisa digambarkan sebagai menderita lantaran kesempitan dan kekeringan jiwanya. Lebih jauh lagi, ia mencoba untuk menangkap kembali esensi manusia primordial, sejauh ia mencoba memperhitungkan realitas fisik surga dunia yang ada.
Akan tetapi, manusia kontemporer memperhitungkan secara lebih mendalam ketimbang manusia yang berdosa. Sebenarnya, ia sangat mungkin tersesat jika penyimpangan yang ada menyebabkan sikap tak acuh terhadap tuntutan perspektif spiritual, berlangsung lama. Manusia yang “terjatuh” memiliki keuntungan atas kedekatannya, baik dari segi waktu maupun ruang, dengan surga, dan kenangannya atas keindahan langit masih sangat intens dan dalam. Sedangkan manusia kontemporer telah jauh dari ruh surga sejati dan jauh dari perasaan sebagai makhluk yang sempurna, yang sebenarnya inheren dalam kodrat manusia primordial.
Tema Pengasingan
Jauh lebih relevan bagi perspektif manusia kontemporer adalah tema-tema abadi tentang kesementaraan dan pengasingan yang merupakan ciri utama manusia yang “terjatuh”. Tema pengasingan kini kembali menghantui psike manusia modern, yang telah kehilangan jalannya dan tidak tahu harus melangkah ke mana. Kemungkinan masalah ini kembali menghantui manusia adalah untuk memperingatkannya tentang perasaan tidak menentu mengenai diri dan dunianya. Khususnya karena selama ini, baik orang yang beriman maupun tidak, telah tersedot oleh visi tentang capaian yang sama sekali material serta kemajuan yang didasarkan pada nilai manusia belaka. Bagaimanapun hal itu sangat mungkin untuk dipertanyakan, dan bagaimanapun jauhnya pertolongan dari surga.
Dalam seratus tahun terakhir, manusia telah menyaksikan perkembangan industri, teknologi, komputer, dan abad nuklir, dalam mana manusia mendapati suatu kemajuan linear berkat usahanya dan untuk akhir sejarahnya. Perkembangan ini dalam dirinya sendiri membawa krisis kepercayaan diri manusia modern. Pada level internal, psikenya harus belajar agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan luar biasa ini. Dewasa ini, lingkungan seolah membuat manusia berada di pengasingan, membuatnya kehilangan unsur-unsur alamiahnya, dan tidak cocok dengan lingkungan sekitar yang dihadapi setiap hari. Tidak seperti dulu, ketika alam yang masih perawan dan taman surgawi bisa menentramkan batinnya dan mengurai simpul-simpul dalam jiwanya. Kebenaran dan keindahan yang ditampilkan oleh alam yang perawan dan menjadi cermin surga kini dikuasai dan dirusak oleh tujuan-tujuan manusia yang tidak suci, dan hasrat manusia akan “kemajuan”.
Tema pengasingan muncul dari kedalaman jiwa manusia modern untuk mengingatkannya akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang paling dalam. Kebutuhan tersebut akan terus-menerus mengekspresikan dirinya sebagai frustasi yang tidak terpuaskan, seandainya hal itu tidak juga diindahkan. Dari sudut pandang spiritual, akal telah direduksi oleh satu piranti mirip-komputer yang menyimpan fakta-fakta dan gambar-gambar. Intelek diukur dari banyaknya data dan informasi, dan logika serta akal manusia sangat mendominasi intelek manusia. Kemampuan pemahaman dan intuisi manusia terlupakan. Nilai dan makna hati telah direduksi dari suatu pusat intelejensi menjadi hanya sebuah organ fisik yang vital bagi berjalannya fungsi tubuh. Dengan demikian makna simbolisnya telah dihilangkan. Adapun tentang jiwa, manusia modern sangat meragukan eksistensinya. Ini bisa dilihat dari kegigihannya menempatkan jiwa di dalam tubuh. Bagaimana seorang manusia beriman bisa merespon dengan baik implikasi-implikasi semacam itu? Apa kata yang tepat untuk memenuhi tuntutan modern yang tidak masuk akal ini? Jika manusia kontemporer tidak menginginkan jiwa, maka apakah manusia beriman harus meyakinkannya bahwa ia (manusia kontemporer) itu memang memiliki jiwa?
Mungkin psike manusia itu sendiri menyimpan jawaban untuk soal-soal ini. Ekspresi psike dan jiwa mau tidak mau akan keluar dari dalam diri manusia kontemporer, bagaimanapun yang bersangkutan ingin meredam suara tersebut. Tema pengasingan akan memancar selama waktu tersebut dan dengan cara yang sama sekali tak terduga. Pengasingan kini telah menjadi fenomena umum. Jumlah mereka (orang yang tersing) meningkat drastis. Ekspatriot yang mengembara di muka bumi ini semakin meningkat. Mereka ini mewakili orang-orang yang sangat ingin meninggalkan kampung halaman untuk satu dan lain alasan. Salah satunya untuk memuaskan dorongan mencari sesuatu yang lain. Dan ini alasan yang cukup untuk meninggalkan nilai budaya dan masyarakat yang selama ini mendukung mereka.
Masyarakat sendiri tampaknya berusaha mengembangkan psikis kolektif untuk membersihkan diri dari rongrongan para pemimpin bermental despotik dan korup, dan mengusir mereka ke pengasingan. Yakni para pemimpin yang telah merampok dan menghancurkan negeri mereka sendiri tanpa malu, yang seringkali malah lari ke pengasingan dengan membawa jutaan dollar yang mereka curi dari perekonomian lokal. Dengan opini dunia sebagai saksi bisu, para pemimpin ini tiba-tiba mendapati diri mereka terbuang, dicaci, dan tak punya tempat berteduh. Seringkali bahkan mereka tidak mendapatkan satu negara pun yang mau menerima mereka, karena kejahatan mereka yang amat menjijikan. Tema pengasingan yang dimulai dari terusirnya Adam ternyata masih terus berlanjut dalam abad modern ini, dan akan terus demikian, selama sisi terdalam spiritualitas manusia ini tidak diberi tempat yang wajar dalam pengalaman sadarnya.
Antara Manusia Tradisional dan Kontemporer
Mengenai hubungan yang mungkin ada antara manusia tradisional dan manusia kontemporer, kita telah menunjukkan bahwa seandainya mereka punya kesempatan untuk bertemu, mereka tidak akan saling mengenal. Manusia tradisional yang murni tidak lagi ada, seiring dengan hilangnya lingkungan tradisional dari muka bumi. Ini tidak berarti bahwa orang yang beriman sudah tidak ada lagi. Manusia adalah produk lingkungan tempat mereka tinggal dan merupakan cermin masa mereka hidup.
Sementara itu, makna kehadiran manusia kontemporer dalam setting modern tidak membutuhkan penjelasan serius. Kita adalah manusia modern, maka subjek tersebut adalah diri kita sendiri. Manusia kontemporer adalah manusia hari ini, bisa dilihat dan dimengerti secara jelas, karena ia ada dalam jiwa kita dan mengelilingi kita. Tapi bagaimanapun perbandingan masih tetap dibutuhkan, karena kita tidak tahan untuk tidak membandingkan dan melihat bagaimana wajah manusia kontemporer dalam terang cahaya tradisional. Ini penting untuk mempelajari perbedaan-perbedaan makna yang amat halus yang ada di antara kedua makhluk ini, yang amat mirip dalam esensinya namun amat berbeda dalam mengekspresikan esensi tersebut.
Di atas telah disebutkan bahwa manusia tradisional mengimani Allah, memasrahkan dan melekatkan dirinya kepada Allah lewat berbagai bentuk penyembahan, kesalehan, dan kecenderungan mereka kepada jalan spiritualitas. Tetapi, manusia kontemporer tidak memiliki iman atau kepercayaan kepada Akal Tertinggi (supreme Intelligence), dan juga tidak melekatkan dirinya kepada Allah lewat penyerahan diri. Ia mengikuti garis lintasan peluru yang linear yang akan mengantarkan dirinya pada pesawat yang bergerak horisontal, yang ia anggap sebagai suatu kemajuan. Pesawat yang tidak akan pernah dilanggar oleh aspirasi spiritual yang berdimensi vertikal. Tidak ada iman, kepasrahan, kecemasan instingtif, dan kecintaan spontan terhadap Allah seperti yang bisa kita temui dalam hati manusia tradisional. Kesadaran spiritual yang berakar dalam suara batin manusia telah dibungkam oleh teriakan keras suara lahirnya. Mikrokosmos jiwa manusia telah menjelma menjadi ego mikropisnya, dan sebagian besar ego ini menyebar ke seluruh penjuru dunia bagai tebaran atom yang masing-masing berusaha mencapai kesatuan dalam dirinya, namun tanpa pertolongan prinsip-prinsip kesatuan. Seperti pepohonan yang tidak pernah membayangkan adanya hutan, atau setitik air yang tidak pernah bergabung dengan lautan.
Diluar capaian-capaian teknologis, kepercayaan terhadap diri dan kemajuan manusia sepanjang sejarah tidak lagi punya daya pikat. Jika pun ada kepercayaan dalam dirinya itu tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan jiwa. Pemahaman hidup masih memerlukan kepercayaan (keimanan) manusia, namun nyatanya keimanan telah ditenggelamkan oleh ego yang pada dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk meyakinkan. Dalam mentalitas modern, ego telah menggantikan kedudukan jiwa sebagai kekuatan kesadaran batin, kendaraan bagi dorongan ambisusnya, dan modus operandi bagi aspirasi-aspirasi batinnya.
Ekspresi keberadaan diri manusia tradisional yang paling kental muncul dari pernyataan tentang jiwanya. Sementara pada manusia kontemporer hal itu keluar dari egonya. Keduanya menunjukkan model eksistensi yang paralel, namun dalam level ekspresi yang sama sekali berbeda. Ego memandang ke dalam dirinya sendiri, sedangkan jiwa merefleksikan cahaya Akal ilahiah dalam mengantisipasi pemenuhan diri dan transendensi jiwa.
Ego melahirkan “Aku” yang sadar. Khususnya selama ego masih diperlukan –bahkan seandainya ia hanya mewakili diri yang sadar– untuk secara efektif memenuhi tuntutan-tuntutan dunia empiris. Ego menyaring berbagai kesan, peristiwa, dan pengalaman yang senantiasa harus dihadapi manusia dalam hidup sehari-harinya. Jika ego bisa memenuhi fungsinya sebagai penolong bagi pikiran manusia, dan sebagai pegangan identitas-diri di tengah serbuan kekuatan-kekuatan eksternal, maka itu baik. Tetapi jika ego perlahan mulai menggantikan kedudukan jiwa sebagai wadah dan dasar identitas spiritual manusia, maka jelas manusia berada dalam bahaya. Pengetahuan absolut ego tentang hal-hal relatif menghalangi pengetahuan relatif tentang yang Absolut. Ego terjebak dalam visinya sendiri dan konsepsinya yang menjemukan tentang dunia ini. Itu hanyalah ekspresi diri yang bersifat temporer dan segera, bukan ekspresi dari dalam jiwa.
Bagi manusia tradisional, jiwa adalah tempat pertemuan antara Allah dan manusia. Dewasa ini, ego manusia –sebagaimana diekspresikan secara lebih penuh dalam kepribadian manusia– bukan tempat konfrontasi ataupun tempat pertemuan dengan Allah, melainkan tempat perjumpaan manusia dengan dirinya sendiri. manusia menjumpai dirinya yang juga merupakan kaca refleksi baginya. Dalam tempat eksposisi ini, manusia tumbuh dan menemukan serta akhirnya mendapati kesadaran dirinya hanya dalam hubungannya dengan dunia ini. Manusia tidak berdialog dengan Akal Ilahi (Divine Intelligence), dan ia juga tidak sedang mencari kasih Ilahi. Ia sedang berdialog dengan dirinya sendiri dan dengan dunia. Dalam pandangan ini, manusia adalah bentuk luar tanpa substansi batin, dengan kata lain, ia adalah badan tanpa jiwa.
Ego tanpa iman ini melepas dan mengabaikan perjanjian sakral. Kepercayaan sakral antara manusia dengan jiwa primordial telah dirusak oleh manusia kontemporer, yang tidak lagi punya minat untuk melihat Allah melalui iman dan kepasrahan. Inilah yang mungkin menyebabkan ajaran Islam menekankan perlunya kepasrahan dan kesaksian terhadap kebenaran, tidak hanya kepada masyarakat Arab abad ketujuh, tapi juga dalam masa kontemporer ini. Tanpa benang transparan kepercayaan sakral dalam dirinya, manusia kontemporer akan menderita. Bahkan bisa-bisa ia tidak memiliki kepercayaan terhadap manusia lain, atau bahkan pada dirinya sendiri. Tanpa hubungan yang jelas dan terbuka yang mengarah ke dalam jiwa, dan selanjutnya melampaui jiwa ke arah ruh, manusia tidak akan memiliki cukup hasrat utnuk menghubungkan dirinya dengan Diri yang lebih besar.
Kelekatan manusia kepada Allah telah digantikan oleh kelakatan kepada dunia bentuk dan dunia kepemilikan. Manusia tidak lagi berupa sebuah buku terbuka yang menanti guratan Pena Ilahi, untuk menentukan tujuan dalam jiwanya. Ia mengingkari pertemuannya dengan Penciptanya, dan kerana itu mengingkari janji masa depan baginya dalam level realitas yang berbeda. Ia menjadi sebuah sistem tertutup, telah ditentukan –bukan oleh Allah, melainkan oleh gerakan aneh ego yang selalu berubah dan perjumpaan-perjumpaan kebetulan dengan dunia yang sukar sekali dimengerti. Intelejensinya telah direduksi menjadi hanya pencari fakta dan sekumpulan data, dan mata hatinya yang dulu pernah secara sungguh-sungguh dididik oleh manusia tradisional, kini tertutup sudah.
Lebih jauh lagi, jiwa manusia yang pernah dianggap sebagai ruang subur dan terbuka bagi tumbuhnya realita-realitas abadi, kini terperangkap dalam sekumpulan ilusi yang diabadikan oleh ego yang mengabdi pada diri sendiri, dan karenanya mereduksi jiwa percaya-diri menjadi sekedar bayangan ego ketimbang refleksi Ruh Ilahi. Ilusi tersebut tak lain adalah bahwa manusia percaya dirinya mampu merealisasi dan memfungsikan keberadaannya sendiri di dunia ini tanpa dukungan dan berkat Allah. Ego menciptakan ilusi, dan ilusi memuaskan ego dalam mengabadikan lingkaran realitas palsu yang menantang kebenaran.
Penutup
Manusia—yang diciptakan Allah dengan satu kata: Jadilah!—telah menjadi manusia dunia yang kosong, terkurung dalam citra tunggal aku-pribadi dalam ego manusia. Ia adalah pertanyaan tanpa jawaban, atau satu keping dari dirinya yang sejati. Ia adalah gumpalan tanah liat tanpa ruh Allah. Ciri karakter manusia primordial –yakni kemurnian, kesederhanaan, dan spontanitas– kini seperti kabut yang menghantui, di luar jangkauan dan tidak bisa diraih. Manusia kontemporer kembali menjadi manusia yang “terjatuh”. Tapi tidak seperti Adam, manusia kontemporer tidak mengambil hikmah “ayat-ayat” yang diturunkan Allah kepadanya untuk keluar dari segala bentuk dilema duniawi. Tanpa kata-kata sakral, ia kehilangan saluran yang akan menolongnya kembali ke jalan yang benar. Tanpa akses pada pengetahuan sakral, ia buta dari visi tentang Yang Maha Segalanya. Prinsip kesatuan yang selama ini menjadi rahmat dan penyelamat telah dipecah menjadi ribuan keping, dan manusia kontemporer sama sekali tidak berdaya untuk mengutuhkannya kembali. “Dia tak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang terlihat: dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (al-An`âm: 103).[Budhy Munawar-Rachman, Pernah mengajar Psikologi Timur pada Universitas Paramadina]
Source: Makalah Seminar Psikologi Islam di Universitas Paramadina, Selasa, 10 Juni 2008. Hak cipta pada penulis.

0 komentar:

Posting Komentar