Candi-candi di Indonesia diyakini bukanlah sekadar tumpukan batu yang tidak berarti. Peninggalan dari masa lampau itu merupakan bangunan suci agama Hindu dan Buddha. Menurut catatan-catatan kuno, sejak abad ke-5 hingga ke-15, banyak kerajaan bercorak Hindu dan Buddha muncul di Nusantara, antara lain Mataram, Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan itu banyak mewariskan bangunan berupa candi.
Kesucian bangunan candi ditunjukkan oleh adanya tiga bagian pada candi itu. Pada candi Hindu, kaki candi melambangkan alam bawah, tempat manusia biasa; badan candi melambangkan alam antara, tempat manusia meninggalkan keduniawiannya; dan atap candi melambangkan alam atas, tempat para dewa. Menurut filosofi Buddha, bagian terbawah disebut kamadhatu (melambangkan dunia keinginan), bagian tengah rupadhatu (dunia berbentuk), dan bagian teratas arupadhatu (bagian tidak berbentuk).
Candi-candi di Indonesia pada dasarnya terdiri atas dua langgam, yakni langgam Jawa Tengah dan langgam Jawa Timur. Umumnya candi langgam Jawa Tengah menghadap ke Timur, sementara candi langgam Jawa Timur menghadap ke Barat.
Masyarakat kuno percaya bahwa candi harus terletak di tempat-tempat para dewa sering bercengkerama. Tempat-tempat itu umumnya dijumpai di puncak, lereng bukit, dan dataran tinggi. Tempat terbaik untuk pendirian candi konon adalah dekat air, terutama pertemuan dua sungai. Dulu, air merupakan perangkat penting untuk upacara keagamaan. Lokasi candi pun harus subur tanahnya sehingga akan menambah nilai plus pada bangunan tersebut.
Karena terpengaruh budaya India, maka pendirian candi tentu saja mengikuti aturan baku di sana. Sumber utamanya terdapat dalam kitab kuno Manasara (ukuran standar yang hakiki). Kitab itu dianggap sebagai inti Wastusastra (ilmu sastra) dan Silpasastra (ilmu tentang seni, sastra, dan mekanika bangunan).
Secara garis besar pembangunan candi terdiri atas tujuh tahap, yakni perencanaan oleh seorang sthapati (ahli pembuat candi), pencarian lokasi, pengujian tanah, penyiapan tanah, pembuatan wastupurusamandala (wastu = tempat tumbuhnya, purusa = inti alam semesta, mandala = denah suci), pembuatan denah candi di atas tanah, dan pengerjaan fisik.
Ciri khas candi-candi Hindu adalah terdapat arca-arca dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa atau perwujudan ketiganya. Bahkan arca-arca lainnya yang termasuk pantheon Hindu, seperti Ganesha, Nandi, dan Durga. Hiasan-hiasan candi yang dibuat pun selalu merepresentasikan ketiga dewa itu, antara lain tercermin pada lingga (tugu batu lambang kesuburan). Bagian bawah lingga berbentuk segiempat melambangkan dewa Brahma, bagian tengah berbentuk segidelapan melambangkan dewa Wisnu, dan bagian atas berbentuk bulat melambangkan dewa Siwa. Selain itu candi-candi Hindu memiliki delapan dewa penjaga arah mata angin (astadikpalaka).
Candi Buddha pun mempunyai ciri khas, berupa arca-arca Dhyanni Buddha, Dhyanni Boddhisatwa, dan Manusi Buddha. Masing-masing mewakili arah mata angin pokok (Utara, Selatan, Barat, dan Timur) ditambah satu di pusat.
Warna
Menurut dokumen-dokumen India, suatu bangunan kuno terkait secara simbolis dengan warna dan arah mata angin. Epigraf (ahli membaca prasasti kuno) Prancis L.Ch. Damais pernah melakukan penelitian sebagaimana tulisannya “Tentang Perlambangan Warna pada Mata Angin” (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1995, hal. 111-164).
Dari sejumlah kitab kuno India, Damais mencoba mencari hubungan antara warna-warna dasar dengan arah mata angin, dewa, planet, alat tubuh, dan sebagainya. Damais melihat dalam agama Hindu terdapat warna dan arah yang dihubungkan dengan keempat kasta, yakni Brahmana (warna putih, arah Utara), Ksatria (merah, Timur), Waisya (kuning, Selatan), dan Sudra (hitam, Barat).
Dalam agama Buddha pun terdapat rangkaian warna yang melekat secara simbolis pada Dhyanni-Buddha. Perpadanannya adalah Amoghasiddhi (hijau, Utara), Aksobhya (biru, Timur), Ratnasambhawa (kuning, Selatan), Amitabha (merah, Barat), dan Wairocana (putih, zenith).
Sebagai acuan, Damais menggunakan sistem klasifikasi Tiongkok yang populer dalam ilmu feng shui hingga sekarang. Warna-warna tersebut dikaitkan dengan lima raja. Setelah ditata menurut mata angin, hasilnya adalah Utara (warna hitam, unsur air), Timur (hijau, kayu), Selatan (merah, api), Barat (putih, logam), dan Pusat (kuning, tanah).
Ilmu feng shui sendiri lahir di Tiongkok sekitar tahun 3000 SM. Feng shui adalah pengetahuan tentang tata letak bangunan yang dipandang akan membawa keberuntungan bagi penghuninya.
Feng shui berhubungan dengan arah rumah atau bangunan berdasarkan angka kua seseorang. Angka kua diperoleh dari data kelahiran. Feng shui mengenal sembilan angka kua (dari 1 hingga 9) yang terbagi menjadi dua kelompok. Angka kua 1, 3, 4, dan 9 termasuk kelompok Timur. Angka kua 2, 5, 6, 7, dan 8 termasuk kelompok Barat.
Candi-candi di Indonesia umumnya menghadap ke Timur atau Barat, meskipun ada sedikit sudut penyimpangan. Filosofinya cukup sederhana. Timur adalah tempat matahari terbit dan Barat tempat matahari terbenam. Candi Gunung Wukir, misalnya, sebagaimana pengukuran arkeolog Eadhiey Laksito Hapsoro diketahui menghadap ke arah Timur 109 derajat. Batas toleransi dalam feng shui adalah 97,5 – 112,5 derajat dihitung dari Utara. Jadi arah hadap candi itu masih termasuk kelompok Timur.
Arah hadap candi dan kelompok dalam feng shui, yakni Timur dan Barat, kemungkinan besar mempunyai kesesuaian. Boleh jadi jika ada penelitian mendalam, akan diketahui siapa raja atau pejabat yang mendirikan candi itu dan waktu pendiriannya. Sebab selama ini yang diketahui adalah waktu peresmian (bukan waktu pendirian) sebuah candi sebagaimana disebutkan pada prasasti.
Matahari
Dalam mitologi India dikisahkan bahwa matahari yang terbit dari Timur merupakan sumber segala kekuatan. Sebagai penguasa arah Timur ditunjuk Indra, yang dalam pantheon (masyarakat dewa) Hindu “menjabat” Dewa Perang. Sedangkan penguasa arah Barat adalah Varuna, identik dengan Dewa Laut.
Mengingat falsafah utama dalam feng shui adalah “bersandar pada gunung, melihat lautan”, tentu adanya kelompok Timur dan Barat bukanlah tanpa perhitungan matang. Konon Dewa Indra bertempat tinggal di keindraan atau puncak gunung.
Aturan-aturan dalam feng shui versi Tiongkok diyakini mirip aturan-aturan Manasara versi India. Feng shui dan candi umumnya bersinggungan dengan arah mata angin dan bentuk.
Dalam astadikpalaka penjaga arah Utara adalah Kuvera atau Dewa Kekayaan dan penjaga arah Selatan adalah Yama yang diidentikkan dengan tempat kemalangan. Dalam feng shui arah Utara adalah lokasi elemen air yang melambangkan kemakmuran dan arah Selatan adalah lokasi elemen api yang biasanya diibaratkan kemalangan. Elemen adalah semacam “rumus” dalam perhitungan feng shui. Karena itu elemen api bukanlah api sesungguhnya, melainkan “pengaruh” tertentu, sebagaimana juga elemen air, tanah, kayu, dan logam.
Simbolisasi
Dari berbagai dokumen tertulis (prasasti dan naskah kuno) di Jawa dan Bali, Damais menyimpulkan bahwa warna dasar yang paling dikenal adalah putih, merah, kuning, dan biru tua. Warna dasar sebagaimana disebutkan Prasasti Sukamerta (1296 M) adalah putih, merah, kuning, dan hitam. Demikian juga dalam kitab kuno Dewa Ruci. Putih, merah, kuning, dan hitam adalah warna-warna di alam semesta. Warna kelima dianggap mewakili keseluruhan warna lainnya, dengan catatan biru tua mirip dengan hitam.
Menurut Damais, warna-warna dasar di Jawa identik dengan warna-warna kasta dalam agama Hindu. Kesimpulan lain adalah simbolisasi Jawa, khususnya perpadanan merah dengan api. Dalam hal ini Brahma dianggap Dewa Api, dihubungkan dengan kematian. Kematian sendiri disamakan dengan Selatan, suatu kiblat yang juga dibuktikan baik oleh letak candi di Prambanan (Jawa) maupun oleh letak altar di Pura Besakih (Bali).
Di Indonesia banyak sekali bangunan kuno yang dipengaruhi kebudayaan India. Untuk itu perlu ada studi yang mendalam mengingat banyak bangunan kuno belum diketahui tarikh pendiriannya. Di samping itu banyak bangunan kuno dipengaruhi kalender Jawa dengan pancawara-nya. Semoga masalah pertanggalan candi mendapat perhatian dari para arkeolog yang berkecimpung di bidang penelitian. Persoalannya adalah dari pertanggalan mutlak candi bisa diperoleh banyak informasi tentang berbagai hal yang tentu saja akan menguntungkan dunia arkeologi secara umum.
0 komentar:
Posting Komentar