Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir  memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan  Mataram Kuno. Prasasti ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis  dengan huruf Palawa yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram  Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh  keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan Sanna dan Sanjaya dapat kita  ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai  Mataram Sang Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil  menyejahterakan rakyat Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan  pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini ditempuh dengan cara mengundang  pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan Mataram Kuno. Raja  Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk candi.  Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh  putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu,  Candi Plaosan dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui  bahwa Raja Rakai Panangkaran beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah  Rakai Panangkaran berturut-turut adalah Rakai Warak dan Rakai Garung.  Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Persaingan dengan  Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja Samaratungga  dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di  Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui  pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan  Pramodawardhani (Putri Raja Samaratungga), dari keluarga Syailendra.  Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak  berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat, Kekuasaan beralih kepada  Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari Pramodawardhani. Menurut  beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856), menunjukkan telah  terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra).  Ia kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan  Sriwijaya. Hal ini dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India),  yang menyatakan bahwa Raja Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan  sebidang tanah kepada Raja Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno  menjadi semakin luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini  dahulunya adalah wilayah Dinasti Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan  agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra dapat hidup rukun. Pada masa  ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti Candi Prambanan.  Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram Kuno  berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan  Mataram Kuno diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan  penasehat yang juga jd pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas  lima patih yang dipimpin oleh seorang mahapatih ini sangat penting  perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang. Raja  Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah Balitung yang bergelar  Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu adalah  Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan  kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur  pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram  terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur  tiga pejabat itu menjadi warisan yang terus digunakan oleh  kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti Kerajaan Singasari dan  Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis  Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih  ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram Kuno yang memuat  silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Setelah  Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih  mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan pindah  ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja  Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno  dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara  itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak  kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno  juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi yang sangat membahayakan  ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh  Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikan  oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
 
0 komentar:
Posting Komentar