Serba Sejarah - Serba Sejarah - Kidung Sunda merupakan salah satu karya sastra dalam bahasa Jawa pertengahan dalam bentuk Kidung atau Syair. Menyebut Kidung Sunda sebagai sumber sejarah merupakan keharusan terlepas dari posisi utamanya sebagai sebuah karya sastra. Salah satu informasi sejarah yang terdapat pada Kidung Sunda ialah terjadinya perang Bubat, pembunuhan terhadap rombongan kerajaan sunda hingga akhir tragis bunuh dirinya sang calon permaisuri. Terdapat 2 versi Kidung Sunda, versi lainnya yaitu Kidung Sundayana atau perjalanan orang Sunda. Namun Versi pertama dari Kidung Sunda memiliki nilai kesusastraan lebih tinggi. Berikut ini ringkasan dari Kidung Sunda yang terbagi dalam 3 pupuh: 
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk  dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru  Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa  lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu  Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim  seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan  lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda.  Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda  untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian  menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit  yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak  berkomentar.
Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan  para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor  bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta  kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak  setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit  menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih  Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya,  terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung  tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun  mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia  disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke  rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan  bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka  bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda  bersikap seperti layaknya vazal-vazal  Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau  tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka  berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan  terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia  berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi  tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela  kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang  Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan  membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya  dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin  tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda  dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang  Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan,  kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk  dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur.  Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh  orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja  Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar  adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati  di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan  keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian  bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan  melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia  kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah  tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan  wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah  dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk  yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka  berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas  malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian  bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar  bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara  (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Sumber: wikipedia Indonesia
 
0 komentar:
Posting Komentar