Perjuangan, gerakan dan perbincangan-perbincangan mengenai feminisme dalam dunia muslim menemui masa-pentingnya, setidaknya pada saat seorang “feminis muslim”, yang dengan getol memperjuangkan pembebasan dan emansipasi perempuan, menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan, telah dilahirkan di dunia ini. Dialah Fatima Mernissi (FM), sosok yang dilahirkan di sebuah harem pada tahun 1940 di Fez, kota abad kesembilan di Maroko, sekitar lima ribu kilometer di sebelah barat timur Madrid, salah satu ibu kota kaum Kristiani yang terkenal. Perjalanan hidupnya bermula dan diawali dengan benturan yang keras antara agamanya dan agama di mana lingkungan ia hidup (Madrid, pusat Kristiani). FM melukiskan dalam sebuah bukunya (Dreams of Trespass, Tales of a Harem Girlhod, 1994, terj.) bahwa perbenturan dengan kaum Kristen bermula, seperti diceritakan ayahnya, pada saat hudud atau batas-batas suci tak lagi dihormati. FM mengatakan bahwa ia lahir di tengah situasi serba kacau karena kaum Kristen maupun kaum perempuan tidak mau menerima batas-batas suci itu. Dari sini jiwa pemberontakan FM mengalami perkembangan yang luar biasa, bahwa batas-batas kesucian yang dipraktekkan dalam kehidupan atas dasar tafsir teks sepihak, telah menistakan sebagian golongan umat manusia yang pada dasarnya memiliki hak yang sama juga.
Batas-batas itu memang sangat tidak seimbang dan tidak adil, serta meletakkan kaum perempuan di batas yang sama sekali sulit (dan tak mungkin) untuk menjamah batas-batas yang lain. Semua regulasi kehidupan pada saat itu, seperti berpendidikan, beribadah, berperilaku dan sebagainya, memang diajarkan untuk mengenal batas-batas suci itu.
Penciptaan batas-batas itu merupakan tradisi berpuluh-puluh tahun. Nurul Agustina (1999) dalam sebuah pengantar buku mencatat, sebagaimana diketahui dalam “Seclusion” dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, meskipun tradisi “batas-batas” itu akrab dengan kebiasaan dalam dunia Muslim, namun sesungguhnya “batas-batas” yang memisahkan anatar jenis kelamin yang satu dengan yang lainnya itu sendiri bukan produk dari Islam. Masyarakat di daratan Bizantium, Kristen Suriah, dan masyarakat pra-Islam di kawasan Mediterania, Mesopotamia, serta Persia sudah terlebih dulu mempaktekkan dalam kehidupan sehari-harinya. Penciptaan batas-batas ini serupa dengan tradisi suku-suku asli di Timur Tengah. Mereka amat ketat menjaga sistem patriarkat ini dengan dalih untuk memelihara kapasitas reproduksi perempuan. Masih seperti yang dicatat Nurul, mengutip ensiklopedi yang dieditori John L. Esposito di atas, bahwa peneguhan atau ekspresi tertinggi dari pemisahan laki-laki dan perempuan adalah pelembagaan institusi harem sejak masa kekhalifahan Abbasiyah. Di dalam harem ini, anggota keluarga yang perempuan hidup bersama dengan para pelayan mereka, dan “stabilitas” mereka dijaga ketat oleh para budak kasim.
Institusi harem dikatakan FM memang tidak selalu berkonotasi dengan “keangkuhan” laki-laki untuk mengendalikan perempuan. Harem, demikian FM terutama dalam Dreams of Trespass, adalah harem domestik yang pernah dialami FM di masa kecilnya. Harem ini juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap anak-anak dan janda. FM mempersoalkan harem domestik ini dengan harem kerajaan yang lebih populer karena konotasi erotikanya (ibid). Harem kerajaan berlaku semenjak kekhalifahan Usmaniyyah dengan Sultannya Abdulhamid II, yang lantas digulingkan oleh kekuasaan Barat dan haremnya ditutup tahun 1909. Bagi FM, harem kerajaan bersanding dengan kejayaan kerajaan Muslim dengan kemampuannya memperluas wilayah imperialismenya.
Meskipun harem kerajaan sudah mati sejak tahun 1909, namun harem domestik masih bertahan pasca 1909, di saat Islam mengalami kemunduruan. Harem domestik yang berlaku ketat, meski tak seketat harem kerajaan, namun tak menggoyahkan FM untuk kemudian tumbuh menjadi sosok feminis yang disegani melalui karya-karyanya. Meskipun banyak orang dan studi yang mengungkapkan bahwa konsepsi feminisme dilahirkan dari Barat dan mengalami perkembangan yang pesat di dunia Barat, namun FM dengan berbagai karya monumentalnya, sebenarnya telah mampu menemukan bentuk feminisme-islam, di mana kritisisme terhadap harem-harem itu dihadirkan.
Pendapat yang mengatakan bahwa feminisme secara epistemologis memang dari Barat tidak bisa disalahkan, karena memang demikianlah adanya. Di dunia Islam sendiri, seperti dicatat oleh Margot Badran dalam The Encyclopedia of the Modern Islamic World, kesadaran akan feminisme dan ketidakadilan gender mulai terlihat dari karya tulis para penulis Muslim pada akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20. Karya-karya itu, seperti ditulis Yunahar Ilyas (1997; 53-4) ada yang berbentuk puisi, cerita pendek, novel, esai, artikel, buku, memoar, atau juga kumpulan surat-surat. Beberapa di antaranya adalah Aisyah Taimuriyah, Huda Sya’rawi, Nabawiah Musa dan Hifni Nashif (Mesir), Zainab Fawwaz (Lebanon), Rokeya Sakhawat Hossain dan Nazzar Sajjad (India), Kartini (Indonesia), Emile Ruete (Zanzibar), Taj-as-Salthanah (Iran), dan Fatma Alive (Turki). Sampai pada paruh kedua abad ke-20, saat perempuan kelas atas dan menengah telah memiliki akses sepenuhnya terhadap kehidupan publik dan telah berintegrasi dengan masyarakat luas, maka para feminis Muslim selanjutnya menulis tentang perspektif yang lebih obyektif, yakni gender.
dikutip dari buku” Perempuan di Garis Depan” (2001)
Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlWv4I0JVPCEIFl_LvuTOeFtTCcSLi__eiv8T4eXCz7e6nnpGOVG-nDK_nBfYnzD5o24rlXcyNcFRRrBNoDmiSFtOG0ZIdiYJfkGdpawdrNETbSchIw9ABWkT2KcqF30WQSk0WcYJIHdoC/s400/NiQaB.jpg *
0 komentar:
Posting Komentar