Perbincangan masalah gender, seringkali menimbulkan suasana yang “kurang nyaman” bahkan konfrontatif, baik dalam forum perempuan saja maupun forum yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Hal ini karena gender dianggap sebagai sesuatu yang Barat-sentris. Bahkan seringkali terjadi kerancuan pandangan tentang konsep seks dan gender, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan sendiri. Gender masih identik dengan perempuan. Karena itu, persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik dalam kehidupan di ranah domestik maupun publik.
Kesalahpahaman masyarakat terhadap kedua istilah yang secara konseptual maupun implikasinya sangat berbeda ini, disebabkan beberapa hal:
Pertama, istilah gender tergolong bahasa asing. Kata gender, bukanlah istilah baku yang muncul dalam kosakata kamus bahasa Indonesia, namun dari kosakata bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin. Kedua, fenomena dan problem gender, dianggap sebagai suatu problem yang tidak ada di sini, tetapi hanya ada “di sana”. Padahal sesungguhnya fenomena gender terdapat di sekitar kita, baik fenomena keadilan maupun ketidakadilan gender.
Ketiga, kondisi di atas mengakibatkan tidak adanya sensistivitas baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri terhadap fenomena ketidakadilan gender yang terjadi, baik di lingkungan sekitarnya maupun terhadap dirinya.
Keempat, rendahnya daya asertifitas terhadap persoalan gender, sehingga perempuan terutama, merasa “kurang mampu” menyuarakan problemnya, baik kepada sesama perempuan maupun kepada laki-laki. Oleh karena itu, mutlak diperlukan perjuangan melawan ketidakadilan gender, yang membuat perempuan mampu mendialogkan pendapat dengan self evidence (penuh percaya diri) tanpa melanggar hak pribadi dan hak orang lain.
Dalam masyarakat akademis maupun non-akademis, seks diartikan sebagai atribut biologis yang melekat secara given/ kodrati. Misalnya laki-laki adalah jenis mahluk yang memiliki penis, jakala dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan adalah makhluk yang memiliki alat reproduksi berupa rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan alat menyusui. Sedangkan gender adalah atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh sosial maupun kultural. Sehingga dari sisi sosio-kultural ini, dikenal bahwa laki-laki itu kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan dianggap lemah lembut, emosional dan keibuan.
Ketiga, kondisi di atas mengakibatkan tidak adanya sensistivitas baik pada laki-laki maupun perempuan sendiri terhadap fenomena ketidakadilan gender yang terjadi, baik di lingkungan sekitarnya maupun terhadap dirinya.
Keempat, rendahnya daya asertifitas terhadap persoalan gender, sehingga perempuan terutama, merasa “kurang mampu” menyuarakan problemnya, baik kepada sesama perempuan maupun kepada laki-laki. Oleh karena itu, mutlak diperlukan perjuangan melawan ketidakadilan gender, yang membuat perempuan mampu mendialogkan pendapat dengan self evidence (penuh percaya diri) tanpa melanggar hak pribadi dan hak orang lain.
Dalam masyarakat akademis maupun non-akademis, seks diartikan sebagai atribut biologis yang melekat secara given/ kodrati. Misalnya laki-laki adalah jenis mahluk yang memiliki penis, jakala dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan adalah makhluk yang memiliki alat reproduksi berupa rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan alat menyusui. Sedangkan gender adalah atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh sosial maupun kultural. Sehingga dari sisi sosio-kultural ini, dikenal bahwa laki-laki itu kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan dianggap lemah lembut, emosional dan keibuan.
Pandangan yang kurang benar terhadap dua konsep tersebut juga berimplikasi pada adanya ketidakadilan gender. Hal ini karena sebab-sebab dan bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut dianggap sebagai hal yang wajar, karena perbedaan gender dianggap sebagai buah dari adanya pembedaan laki-laki dan perempuan secara natural (given). Padahal sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tersebut bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Jika dalam keterangan disebut seks, maka organ biologis yang dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut tidak bisa dipertukarkan antara satu dengan yang lain. Sedangkan jika dalam keterangn disebut gender, maka sifat yang dilekatkan pada laki-laki maupun perempuan tersebut bisa saling dipertukarkan. Jenis kelamin bilogis yang dipertukarkan, misalnya dengan mengubah organ kelamin dari laki-laki ke perempuan, maka perubahan tersebut tetap saja tidak akan bisa membuat si laki-laki yang bertukar kelamin perempuan tersebut bisa mengandung, karena ia tidak memiliki rahim dan alat-alat reproduksi lainnya. Demikian juga ketika seorang perempuan berganti kelamin laki-laki, maka ia juga tidak akan bisa membuahai sel telur, karena ia tidak memiliki sel sperma. Inilah yang disebut sebagai seks, jenis kelamin kodrati yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan seks, gender adalah “jenis kelamin” sosial yang ungiven (tidak kodrati). Jenis kelamin tersebut dikonstruksi oleh masyarakat sendiri, dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang selanjutnya diemban dan diperankan oleh laki-laki dan perempuan, tanpa dipandang sebagai sesuatu yang harus dipersoalkan, baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan sendiri. Perhatikan pula tabel di bawah ini :
NO. | SEKS | GENDER |
1. | Biologis | Kultural |
2. | Pemberian Tuhan/kodrati | Dikonstruksi/diajarkan/non-kodrati |
3. | Tidak dapat diubah | Dapat diubah |
4. | Peran seks : membuahi Perempuan: reproduksi | Peran gender Laki-laki: semua sektor publik Perempuan: sektor domestik (ex: memasak, mencuci, menyapu dll). |
Variasi Makna Gender
a. Gender sebagai istilah asing
Gender sebagai istilah asing, seringkali dibaca salah, apalagi jika dibaca oleh orang Jawa dengan logat khas Jawa, sangat banyak dimungkinkan ada kesalahan (Jawa: gender). Gender sebagai hal baru, memang istilah yang berasal dari bahasa Inggris dengan makna tertentu. Gender memang bukan bahasa Jawa dan bukan bahasa Indonesia, namun sesungguhnya belum tentu sebagai istilah asing, fenomenanya tidak ada di sekitar kita. Gender ini biasanya dikaitkan dengan pembagian atas dasar jenis kelamin, klasifikasi berdasarkan jenis kelamin.
a. Gender sebagai istilah asing
Gender sebagai istilah asing, seringkali dibaca salah, apalagi jika dibaca oleh orang Jawa dengan logat khas Jawa, sangat banyak dimungkinkan ada kesalahan (Jawa: gender). Gender sebagai hal baru, memang istilah yang berasal dari bahasa Inggris dengan makna tertentu. Gender memang bukan bahasa Jawa dan bukan bahasa Indonesia, namun sesungguhnya belum tentu sebagai istilah asing, fenomenanya tidak ada di sekitar kita. Gender ini biasanya dikaitkan dengan pembagian atas dasar jenis kelamin, klasifikasi berdasarkan jenis kelamin.
b. Gender sebagai fenomena Sosial Budaya.
Gender merupakan suatu fenomena sosial budaya, diartikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan klasifikasi, sehingga dengan demikian sesungguhnya gender bukan sesuatu yang asing, karena kita seringkali melakukannya meski tanpa kita sadari. Pembedaan-pembedaan seperti ini muncul dalam banyak lapangan kehidupan, yang sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk pembagian ruang publik dan domestik untuk laki-laki dan perempuan. Jadi fenomena gender ada di manapun, meskipun studi tentang gender diawali oleh orang-orang Barat sebagai arus utama. Hal ini perlu dipahami, karena ada persoalan ketimpangan di antara jenis kelamin. Bukan pembedaan yang menjadi persoalan, tetapi implikasi dari pembedaan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan sosial budaya di beberapa bidang dipengaruhi oleh hal ini.
Gender sebagai fenomena sosial budaya diartikan sebagai dampak sosial yang muncul dalam suatu masyarakat karena adanya pembedaan atas dasar jenis kelamin. Ini yang dimaksud gender sebagai fenomena sosial budaya, yang melibatkan kita didalamnya, sadar maupun tidak sadar. Fenomena ini sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bagaimana bahasa ini membentuk kenyataan yang menjadikan kita sulit keluar dari masalah, sehingga memerlukan penyadaran. Sementara fenomena itu netral, karena ia adalah gejala, yang di antaranya dapat dilihat dengan berbagai perspektif agama. Adakah ajaran-ajaran agama juga telah menyumbangkan terhadap munculnya ketimpangan gender? Ajaran-ajaran mana yang memberikan kontribusi dalam ketimpangan ini, misalnya penafsiran yang dimajukan para ulama mengenai kepemimpinan (QS. 4:34), kewarisan (QS.4:11) dan penciptaan perempuan (QS. 4:1) yang debatable.
Gender merupakan suatu fenomena sosial budaya, diartikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan klasifikasi, sehingga dengan demikian sesungguhnya gender bukan sesuatu yang asing, karena kita seringkali melakukannya meski tanpa kita sadari. Pembedaan-pembedaan seperti ini muncul dalam banyak lapangan kehidupan, yang sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk pembagian ruang publik dan domestik untuk laki-laki dan perempuan. Jadi fenomena gender ada di manapun, meskipun studi tentang gender diawali oleh orang-orang Barat sebagai arus utama. Hal ini perlu dipahami, karena ada persoalan ketimpangan di antara jenis kelamin. Bukan pembedaan yang menjadi persoalan, tetapi implikasi dari pembedaan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan sosial budaya di beberapa bidang dipengaruhi oleh hal ini.
Gender sebagai fenomena sosial budaya diartikan sebagai dampak sosial yang muncul dalam suatu masyarakat karena adanya pembedaan atas dasar jenis kelamin. Ini yang dimaksud gender sebagai fenomena sosial budaya, yang melibatkan kita didalamnya, sadar maupun tidak sadar. Fenomena ini sangat erat kaitannya dengan bahasa. Bagaimana bahasa ini membentuk kenyataan yang menjadikan kita sulit keluar dari masalah, sehingga memerlukan penyadaran. Sementara fenomena itu netral, karena ia adalah gejala, yang di antaranya dapat dilihat dengan berbagai perspektif agama. Adakah ajaran-ajaran agama juga telah menyumbangkan terhadap munculnya ketimpangan gender? Ajaran-ajaran mana yang memberikan kontribusi dalam ketimpangan ini, misalnya penafsiran yang dimajukan para ulama mengenai kepemimpinan (QS. 4:34), kewarisan (QS.4:11) dan penciptaan perempuan (QS. 4:1) yang debatable.
c. Gender sebagai suatu kesadaran sosial (social conciousness).
Hal ini merupakan kesadaran yang ada dalam suatu masyarakat, bahwa hal-hal yang berasal dari pembedaan jenis kelamin sifatnya socio-cultural. Gender sebagai suatu kesadaran sosial ini tidak dimiliki setiap orang (laki-laki dan perempuan).Oleh karena itu, perlu ada kesadaran sosial mengenai gender, bahwa klasifikasi atas dasar jenis kelamin dan implikasi dalam kehidupan sosial tidak given (bukan takdir), tapi bersifat sosio-cultural. Karenanya, jika ada sesuatu yang merugikan pihak-pihak tertentu, maka hal tersebut bisa dirubah. Hal ini karena atas dasar klasifikasi ini muncul ketimpangan-ketimpangan. Pada saat ini mungkin tidak disadari, bahwa banyak pelecehan yang diucapkan oleh laki-laki, tapi tidak disadari baik oleh laki-laki maupun perempuan. Tidak semua orang memiliki tingkat sensitivitas yang sama. Oleh karena itu, gender sebagai kesadaran sosial menjadi penting adanya.
d. Gender sebagai persoalan Sosial.
Gender sebagai persoalan sosial budaya, lebih memfokuskan pada persoalan ketimpangan, yakni masalah ketimpangan antara hak dan kewajiban. Hal ini bisa menjadi persoalan karena ada ketimpangan yang kadang-kadang berasal dari kategori superioritas (laki-laki) dan inferioritas (perempuan). Ketimpangan hak dan kewajiban dianggap menjadi persoalan, karena merugikan pihak-pihak tertentu. Ketimpangan hak dan kewajiban berkaitan dengan permasalahan sosial, bisa berupa bentuk-bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan dan diupayakan adanya equality dan equity.
e. Gender sebagai konsep analisis.
Konsepsi gender segungguhnya tidak terlepas dari asumsi-asumsi yang dibangun oleh sosio-kultural, baik melalui paradigma-paradigma ideologis maupun filosofis, dengan kepentingan tertentu. Gender sebagai konsep analisis, diperlukan dalam melakukan penelitian atau pembacaan atas suatu realitas sosial, dalam rangka memahami fenomena ketimpangan gender di masyarakat secara lebih baik dan proporsional. Dari sini pulalah kemudian dikembangkan berbagai metode dan teknik analisis gender, yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sesuai dengan konteks perjalanan dan perkembangan masyarakat.
Konsepsi gender segungguhnya tidak terlepas dari asumsi-asumsi yang dibangun oleh sosio-kultural, baik melalui paradigma-paradigma ideologis maupun filosofis, dengan kepentingan tertentu. Gender sebagai konsep analisis, diperlukan dalam melakukan penelitian atau pembacaan atas suatu realitas sosial, dalam rangka memahami fenomena ketimpangan gender di masyarakat secara lebih baik dan proporsional. Dari sini pulalah kemudian dikembangkan berbagai metode dan teknik analisis gender, yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sesuai dengan konteks perjalanan dan perkembangan masyarakat.
f. Gender sebagai Perspektif.
Perspektif gender adalah sudut pandang yang dipakai ketika melakukan penelitian, yang berfungsi untuk memahami gejala sosial budaya, dengan asumsi bahwa di dalam masyarakat ada pembedaan menurut jenis kelamin.Gender sesungguhnya adalah hasil atau akibat dari sexual differentiation. Ada laki-laki dan perempuan, ada domestik-publik, ada inferioritas-superioritas dan sebagainya, yang terdapat dalam kehidupan sosial. Terdapat perspektif yang berbeda bagi setiap orang dalam memandang persoalan. Misalnya ketika ada masalah sosial, itu masalah siapa? Bagi kaum laki-laki atau bagi kaum perempuan? Hal ini tergantung pada siapa yang memandang dan perspektif yang digunakannya.
Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Namun ketidakadilan tersebut tidak dianggap sebagai suatu masalah karena tidak ada/kurang adanya kesadaran dan sensitivitas terhadapnya. Sebut saja misalnya anggapan dan pelabelan bahwa perempuan adalah mahluk yang suka bersolek untuk menarik perhatian lawan jenis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, perempuan diposisikan sebagai mahluk yang lemah secara fisik dan intelektualitasnya sehingga tidak cakap menjadi pemimpin, mobilitas terbatas, dll.
Pembagian kerja secara seksual juga menjadi persoalan gender. Misalnya seorang istri harus di rumah (memasak, mencuci, merawat anak, bersolek dan sebagainya) sementara seorang suami harus ke kantor/ bekerja di luar rumah. Ketika seorang istri ingin berkiprah di sektor publik dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Demikian juga ketika seorang suami mengerjakan pekerjaan domestik dianggap tabu dan menyalahi adat dan kodratnya sebagai laki-laki. Hal-hal semacam inilah yang harus diluruskan bahwa pekerjaan domestik-publik bisa dilakukan oleh suami maupun seorang istri. Hal ini karena Islam sendiri juga tidak memetakan bahwa ini adalah pekerjaan istri dan itu adalah pekerjaan suami, kecuali hal-hal yang memang bersifat kodrati, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Dengan kata lain, Islam tidak melakukan pembedaan peran kepada laki-laki dan perempuan berdasarkan kategori seksnya. Adapun bentuk ketidakadilan adalah meliputi: strereotipe, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban kerja ganda.
a. Stereotipe
Pelabelan negatif kepada perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. Pelabelan negatif tersebut dikemas dari mulai bentuknya yang sama sekali tidak ilmiah sampai yang terkesan ilmiah (pseudo ilmiah). Hal ini tidak saja mempersulit perempuan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi diri, tetapi juga menyulitkan perempuan untuk keluar dari garis batas pencitraan negatifnya. Jalaluddin Rahmat bahkan menambah daftar panjang citra negatif perempuan dengan mengungkap kasus pelabelan negatif dalam teori dan analisis kejiwaan perempuan dalam disiplin psikologi.
b. Marjinalisasi
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Dominasi struktur dan ideologi patriarkhi telah melahirkan sikap ‘laki-laki isme’ pada banyak aspek kehidupan. Misalnya kebijakan pemerintah yang menggunakan teknologi canggih sehingga menggantikan peran-peran perempuan di sektor produksi yang selama ini diakses secara ekonomis. Digantikannya tenaga manusia dengan mesin pada produksi pertanian misalnya, telah “merampas” akses produksi perempuan yang selama ini mereka perankan.
c. Subordinasi
Pelabelan negatif kepada perempuan juga akan berakibat pada tidak diakuinya potensi kaum perempuan, sehingga ia sulit mengakses posisi-posisi strategis dan sentral dalam komunitasnya, terutama yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan keputusan. Ketika dalam sebuah keluarga yang sumber keuangannya terbatas, maka diambil keputusan bahwa anak laki-laki yang harus tetap bersekolah sedangkan anak perempuan tinggal di rumah. Praktik seperti ini terjadi sesungguhnya bisa saja terjadi karena tidak adanya kesadaran gender yang adil.
d. Kekerasan (violence)
Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsekuensi logis dari stereotipe terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan dan potensial berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya, atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam literatur feminisme lazim dikenal sebagai gender-related violence. Dalam konteks ini misalnya kekerasan bisa saja berbentuk perkosaan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana dan sexual harrasment (pelecehan seksual).
e. Beban Ganda
Anggapan dan pemosisian bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggungjawabnya, karena dikonstruksi sebagai pekerjaan perempuan. Pada masyarakat miskin, beban yang sangat berat ini harus ditanggung perempuan sendiri, terlebih jika ia harus bekerja di luar rumah misalnya, sehingga ia memikul beban kerja ganda, bahkan berlipat. Hal ini bahkan disosialisasikan dan dibentukkan kepada anak-anak sejak kecil. Misalnya anak-anak perempuan yang dipgap memiliki sifat telaten dan rajin, diberikan padanya mainan alat-alat masak-memasak, boneka dan sebagainya. Sedangkan laki-laki yang diposisikan sebagai mahluk yang kuat, cerdas dan rasional, diberikan kepada mereka mainan pesawat, mobil-mobilan, tembak-tembakan dan sebagainya. Hal ini menandakan bahwa konstruksi peran yang harus dimainkan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya kelak, telah diajarkan, disosialisasikan dan bahkan diinternalisasikan kepada anak-anak sejak mereka dini usia.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender sering terjadi di lingkungan sekitar kita. Namun ketidakadilan tersebut tidak dianggap sebagai suatu masalah karena tidak ada/kurang adanya kesadaran dan sensitivitas terhadapnya. Sebut saja misalnya anggapan dan pelabelan bahwa perempuan adalah mahluk yang suka bersolek untuk menarik perhatian lawan jenis, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah, perempuan diposisikan sebagai mahluk yang lemah secara fisik dan intelektualitasnya sehingga tidak cakap menjadi pemimpin, mobilitas terbatas, dll.
Pembagian kerja secara seksual juga menjadi persoalan gender. Misalnya seorang istri harus di rumah (memasak, mencuci, merawat anak, bersolek dan sebagainya) sementara seorang suami harus ke kantor/ bekerja di luar rumah. Ketika seorang istri ingin berkiprah di sektor publik dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Demikian juga ketika seorang suami mengerjakan pekerjaan domestik dianggap tabu dan menyalahi adat dan kodratnya sebagai laki-laki. Hal-hal semacam inilah yang harus diluruskan bahwa pekerjaan domestik-publik bisa dilakukan oleh suami maupun seorang istri. Hal ini karena Islam sendiri juga tidak memetakan bahwa ini adalah pekerjaan istri dan itu adalah pekerjaan suami, kecuali hal-hal yang memang bersifat kodrati, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Dengan kata lain, Islam tidak melakukan pembedaan peran kepada laki-laki dan perempuan berdasarkan kategori seksnya. Adapun bentuk ketidakadilan adalah meliputi: strereotipe, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban kerja ganda.
a. Stereotipe
Pelabelan negatif kepada perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. Pelabelan negatif tersebut dikemas dari mulai bentuknya yang sama sekali tidak ilmiah sampai yang terkesan ilmiah (pseudo ilmiah). Hal ini tidak saja mempersulit perempuan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi diri, tetapi juga menyulitkan perempuan untuk keluar dari garis batas pencitraan negatifnya. Jalaluddin Rahmat bahkan menambah daftar panjang citra negatif perempuan dengan mengungkap kasus pelabelan negatif dalam teori dan analisis kejiwaan perempuan dalam disiplin psikologi.
b. Marjinalisasi
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Dominasi struktur dan ideologi patriarkhi telah melahirkan sikap ‘laki-laki isme’ pada banyak aspek kehidupan. Misalnya kebijakan pemerintah yang menggunakan teknologi canggih sehingga menggantikan peran-peran perempuan di sektor produksi yang selama ini diakses secara ekonomis. Digantikannya tenaga manusia dengan mesin pada produksi pertanian misalnya, telah “merampas” akses produksi perempuan yang selama ini mereka perankan.
c. Subordinasi
Pelabelan negatif kepada perempuan juga akan berakibat pada tidak diakuinya potensi kaum perempuan, sehingga ia sulit mengakses posisi-posisi strategis dan sentral dalam komunitasnya, terutama yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan keputusan. Ketika dalam sebuah keluarga yang sumber keuangannya terbatas, maka diambil keputusan bahwa anak laki-laki yang harus tetap bersekolah sedangkan anak perempuan tinggal di rumah. Praktik seperti ini terjadi sesungguhnya bisa saja terjadi karena tidak adanya kesadaran gender yang adil.
d. Kekerasan (violence)
Kekerasan terhadap perempuan merupakan konsekuensi logis dari stereotipe terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan dan potensial berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya, atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam literatur feminisme lazim dikenal sebagai gender-related violence. Dalam konteks ini misalnya kekerasan bisa saja berbentuk perkosaan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana dan sexual harrasment (pelecehan seksual).
e. Beban Ganda
Anggapan dan pemosisian bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggungjawabnya, karena dikonstruksi sebagai pekerjaan perempuan. Pada masyarakat miskin, beban yang sangat berat ini harus ditanggung perempuan sendiri, terlebih jika ia harus bekerja di luar rumah misalnya, sehingga ia memikul beban kerja ganda, bahkan berlipat. Hal ini bahkan disosialisasikan dan dibentukkan kepada anak-anak sejak kecil. Misalnya anak-anak perempuan yang dipgap memiliki sifat telaten dan rajin, diberikan padanya mainan alat-alat masak-memasak, boneka dan sebagainya. Sedangkan laki-laki yang diposisikan sebagai mahluk yang kuat, cerdas dan rasional, diberikan kepada mereka mainan pesawat, mobil-mobilan, tembak-tembakan dan sebagainya. Hal ini menandakan bahwa konstruksi peran yang harus dimainkan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosialnya kelak, telah diajarkan, disosialisasikan dan bahkan diinternalisasikan kepada anak-anak sejak mereka dini usia.
Gender dan Konstruksi Sosial
1. Patriarkhi dan Kontrol Sosial terhadap Perempuan
Historisitas adanya pembedaan gender ini terjadi melalui proses yang sangat panjang dan beragam.Di antaranya adalah karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, baik melalui interpretasi teks-teks keagamaan ataupun oleh negara. Di sinilah sebenarnya akar penyebab utama dianggapnya perbedaan gender sebagai kodrat Tuhan yang tidak bisa dirubah dan dipertukarkan antara kedua jenis mahluk tersebut, sehingga melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities), baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ternyata yang menjadi persoalan adalah karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Perjuangan melawan ketidakadilan gender adalah suatu keharusan sejarah. Kendati demikian, untuk mewujudkannya selalu mendapatkan tantangan. Hal ini karena adanya ketakutan atau kehawatiran beberapa pihak yang pro-kemapanan dan telah diuntungkan oleh sistem budaya yang cenderung berpihak dan menguntungkan laki-laki (male sentris).
Kendati patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi laki-laki atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang gerak laki-laki, yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin dan petualang publik. Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki yang diakibatkan oleh ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki lebih besar. Pada saat yang sama, ideologi ini sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi perempuan. Sebaliknya, ia diciptakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap perempuan, baik kontrol terhadap tubuh maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan kuno hingga modern, tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan tubuh dan sosial perempuan tersebut. Sistem teologi agama kuno yang menggambarkan sosok tuhan-tuhan yang banyak, kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang berpengaruh, hingga kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai sosok bapak yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya, merupakan proses sekunderisasi perempuan.
Secara historis, munculnya ideologi patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum, seoring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para femnis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi jauh sebelum era neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut. Antara tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perempuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik maupun negara.
Dalam konteks di atas, seksualitas perempuan menjadi aset dan kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan kedua milik suami. Kesucian seksualitas perempuan memperoleh nilai ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar menawar. Tampaknya budaya seperti ini juga terserap dalam praktik keagamaan di dunia Islam. Uang jemputan dalam kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh, merupakan contoh konkretnya, di mana harga perawan ditentukan oleh status sosial ayah-nya.
Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan. Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk. Sekali lagi perlu dipahami bahwa peperangan merupakan simbol hegemonik dari petualangan laki-laki.
Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi dengan tangan kosong.
Dalam konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di tangan ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada kekuasaan mutlak mereka. Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa kepala keluarga berhak mengatur perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim anak-anak perempuannya ke candi untuk menjadi biarawati. Ia bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar hutang-hutangnya.
Tidak berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang suami memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori istrinya. Karena itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi pemerkosaan atas gadis oleh laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya. Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi atas dirinya.
Senada dengan tesis di atas, pendapat Aristoteles bahwa perempuan adalah aki-laki yang kurang, dan kepercayaan bahwa Hawa bertanggung jawab atas dosa warisan dan pengusiran Adam dari Surga, juga semakin mendukung pelembagaan patriarkhi, metafora dasar dan simbol-simbol peradaban bahwa perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Implikasinya lebih jauh adalah munculnya dua konsep mengenai manusia, yakni: konsep laki-laki dan konsep perempuan yang secara hirarkhial berbeda bentuk, fungsi dan potensinya. Dalam konteks inilah, tubuh yang tidak saja dianggap sebagai teks kebudayaan, merupakan fokus kontrol sosial yang praktis, sebagaimana didefinisikan oleh Bourdeu dan Foucoult.
2. Teori Peran Laki-laki dan Perempuan
Paling tidak, terdapat dua teori peran, yang bisa diguakan untuk melihat peran laki-laki dan perempuan. Tentusaja, yang dimaksud peran dalam konteks ini adalah peran sosial, yang dikonstruksi oleh masyarakat. Dua teori dimaksud adalah teori nature dan teori nurture. Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, angapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional,dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya, sebagai kodrat perempuan, sesungguhnya juga hanya diskenario oleh kultur patriarkhi.
Berdasarkan perdebatan di atas, diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak waar dan tidak pantas untuk laki-laki atau perempuan.
a. Teori Nature : Kelemahan sebagai Kodrat Perempuan
Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap. Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.
Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab.Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia. Dalam konteks tersebut, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitanya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam daripada dengan kebudayaan. Perempuan berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.
Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan adalah anima.
Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kosmologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekekalannya. Sebaliknya, perempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan kemudahannya mengalami perubahan. Philo secara lebih vulgar menyatakan bahwa dikhotomi laki-laki dan perempuan, berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam. Menurut Philo, hukum dunia mengikuti perintah alam.
Di samping dasar filsafat tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikannya bukan sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu kepada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan peran perempuan.
Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil.
Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Bai Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya. Bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.
b. Teori Nurture : Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial
Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.
Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya.
Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini. Konsepsi ideologi patriarkhi yang sesungguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi –yang diwariskan oleh peradaban kuno– dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisasi ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat.
Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terletak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan.Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikataan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan kolaborasi dan perselingkuhan kepentingan antara patriarkhi dan metafisika Barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-laki dibanding perempuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar konstruksi dan buatan tangan manusia.
Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan atau isteri sebagai pendamping laki-laki atau suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki atau suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.
Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian sosial sehingga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi.
Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan dalam 158 masyarakat. Sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki dalam 104 masyarakat. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan.
Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-lakiu dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen. Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelaim tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan bahkan juga ekonomi.
1. Patriarkhi dan Kontrol Sosial terhadap Perempuan
Historisitas adanya pembedaan gender ini terjadi melalui proses yang sangat panjang dan beragam.Di antaranya adalah karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, baik melalui interpretasi teks-teks keagamaan ataupun oleh negara. Di sinilah sebenarnya akar penyebab utama dianggapnya perbedaan gender sebagai kodrat Tuhan yang tidak bisa dirubah dan dipertukarkan antara kedua jenis mahluk tersebut, sehingga melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities), baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ternyata yang menjadi persoalan adalah karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Perjuangan melawan ketidakadilan gender adalah suatu keharusan sejarah. Kendati demikian, untuk mewujudkannya selalu mendapatkan tantangan. Hal ini karena adanya ketakutan atau kehawatiran beberapa pihak yang pro-kemapanan dan telah diuntungkan oleh sistem budaya yang cenderung berpihak dan menguntungkan laki-laki (male sentris).
Kendati patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi laki-laki atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang gerak laki-laki, yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin dan petualang publik. Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki yang diakibatkan oleh ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki lebih besar. Pada saat yang sama, ideologi ini sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi perempuan. Sebaliknya, ia diciptakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap perempuan, baik kontrol terhadap tubuh maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan kuno hingga modern, tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan tubuh dan sosial perempuan tersebut. Sistem teologi agama kuno yang menggambarkan sosok tuhan-tuhan yang banyak, kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang berpengaruh, hingga kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai sosok bapak yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya, merupakan proses sekunderisasi perempuan.
Secara historis, munculnya ideologi patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum, seoring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para femnis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi jauh sebelum era neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut. Antara tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perempuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik maupun negara.
Dalam konteks di atas, seksualitas perempuan menjadi aset dan kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan kedua milik suami. Kesucian seksualitas perempuan memperoleh nilai ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar menawar. Tampaknya budaya seperti ini juga terserap dalam praktik keagamaan di dunia Islam. Uang jemputan dalam kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh, merupakan contoh konkretnya, di mana harga perawan ditentukan oleh status sosial ayah-nya.
Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan. Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk. Sekali lagi perlu dipahami bahwa peperangan merupakan simbol hegemonik dari petualangan laki-laki.
Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi dengan tangan kosong.
Dalam konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di tangan ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada kekuasaan mutlak mereka. Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa kepala keluarga berhak mengatur perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim anak-anak perempuannya ke candi untuk menjadi biarawati. Ia bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar hutang-hutangnya.
Tidak berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang suami memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori istrinya. Karena itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi pemerkosaan atas gadis oleh laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya. Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi atas dirinya.
Senada dengan tesis di atas, pendapat Aristoteles bahwa perempuan adalah aki-laki yang kurang, dan kepercayaan bahwa Hawa bertanggung jawab atas dosa warisan dan pengusiran Adam dari Surga, juga semakin mendukung pelembagaan patriarkhi, metafora dasar dan simbol-simbol peradaban bahwa perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Implikasinya lebih jauh adalah munculnya dua konsep mengenai manusia, yakni: konsep laki-laki dan konsep perempuan yang secara hirarkhial berbeda bentuk, fungsi dan potensinya. Dalam konteks inilah, tubuh yang tidak saja dianggap sebagai teks kebudayaan, merupakan fokus kontrol sosial yang praktis, sebagaimana didefinisikan oleh Bourdeu dan Foucoult.
2. Teori Peran Laki-laki dan Perempuan
Paling tidak, terdapat dua teori peran, yang bisa diguakan untuk melihat peran laki-laki dan perempuan. Tentusaja, yang dimaksud peran dalam konteks ini adalah peran sosial, yang dikonstruksi oleh masyarakat. Dua teori dimaksud adalah teori nature dan teori nurture. Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, angapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional,dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya, sebagai kodrat perempuan, sesungguhnya juga hanya diskenario oleh kultur patriarkhi.
Berdasarkan perdebatan di atas, diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak waar dan tidak pantas untuk laki-laki atau perempuan.
a. Teori Nature : Kelemahan sebagai Kodrat Perempuan
Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap. Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.
Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab.Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia. Dalam konteks tersebut, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitanya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam daripada dengan kebudayaan. Perempuan berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.
Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan adalah anima.
Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kosmologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekekalannya. Sebaliknya, perempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan kemudahannya mengalami perubahan. Philo secara lebih vulgar menyatakan bahwa dikhotomi laki-laki dan perempuan, berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam. Menurut Philo, hukum dunia mengikuti perintah alam.
Di samping dasar filsafat tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikannya bukan sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu kepada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan peran perempuan.
Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil.
Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Bai Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya. Bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.
b. Teori Nurture : Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial
Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.
Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya.
Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini. Konsepsi ideologi patriarkhi yang sesungguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi –yang diwariskan oleh peradaban kuno– dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisasi ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat.
Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terletak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan.Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikataan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan kolaborasi dan perselingkuhan kepentingan antara patriarkhi dan metafisika Barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-laki dibanding perempuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar konstruksi dan buatan tangan manusia.
Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan atau isteri sebagai pendamping laki-laki atau suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki atau suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.
Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian sosial sehingga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi.
Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan dalam 158 masyarakat. Sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki dalam 104 masyarakat. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan.
Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-lakiu dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen. Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelaim tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan bahkan juga ekonomi.
Aturan Kesetaraan Hak
Dasar hukum penerapan anggaran responsif gender dapat dilihat pada Pasal 23 dan Pasal 27 UUD 1945 yang masing-masing mengatur tentang anggaran dan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta mengatur tentang kesamaan kedudukan setiap warga negara. Selain itu pada Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender; Kepmendagri No.132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender, di mana dalam Pasal 7 mengamanatkan minimal 5 % dari total alokasi anggaran harus diperuntukkan bagi Pengarusutamaan Gender; Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang RPJM Nasional, Bab 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak.
Berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar