Situasi revolusi di Timur Tengah menarik untuk dikaji. Mengapa?  karena banyak ahli berbeda pendapat dalam memandang revolusi di Timur  Tengah.
Ada yang memandang ini adalah bagian dari skenario  Amerika Serikat untuk mendemokratisasikan Timur Tengah. Dalam pandangan  ini dijelaskan bahwa aksi massa yang terjadi di Timur Tengah tidaklah  bergerak dengan sendirinya, tapi ada kekuatan luar yang menopangnya,  yaitu Amerika Serikat. 
Pandangan lain menjelaskan aksi massa yang terjadi di Timur  Tengah justru tergerak dengan sendirinya, secara spontanitas, karena  massa telah jenuh hidup dalam keterkungkungan rezim otoritarianisme. 
Memang  gejolak yang menyebar di hampir seluruh kawasan Timur Tengah agak sulit  untuk dipahami. Bermula dari penggulingan Presiden Zine el-Abidine Ben  Ali di Tunisia, pemaksaan mundur Hosni Mubarak di Mesir, demonstrasi  besar-besaran untuk menuntut lengsernya Presiden Muammar Khadafi di  Libya, hingga berbagai aksi di Yaman, Yordania dan Bahrain, menunjukkan  tren yang tidak terduga dan tidak dapat diprediksi kemana arahnya.
Terlepas  dari ketidakpastian arah revolusi di kawasan Timur Tengah, peran  militer tampak begitu kuat dan tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan  revolusi. Seperti dicontohkan mantan diplomat Amerika Serikat, Robert H.  Pelletreau, ketika Ben Ali memerintahkan pasukan militer untuk  menghentikan kerusuhan, tentara menolak menembaki warga Tunisia yang  sedang berdemonstrasi. Aksi demonstrasi pun terus merebak, sebagian  disebabkan dukungan AS, sampai akhirnya Ben Ali melarikan diri keluar  negeri (Foreign Affairs, 2011).
Berbeda dengan Tunisia, Mesir  di bawah Presiden Mubarak, tidak selemah dan terisolasi seperti Ben Ali.  Militer pendukung Mubarak pada awalnya sangat kuat, namun belakangan  melemah disebabkan bertahannya masa demonstran di alun-alun Tahrir.  Presiden Mubarak pun akhirnya mundur, namun menyisakan satu persoalan  baru: pemerintah pengganti Mubarak merupakan dewan militer, yang sangat  mungkin tidak kalah otoriter dari pemerintah Mubarak.
Revolusi  di kawasan Timur Tengah saat ini boleh dibilang hal baru dalam gerakan  politik penentangan rezim otoriter, karenanya sukar untuk diprediksi.  Kim Holmes dalam blog heritage (2011) menyatakan gelombang revolusi ini  sebagai hal yang tidak dapat diprediksi. Bahkan presedennya pun tidak  pernah ada sebelumnya. 
Menurut Holmes, nasionalisme Arab  biasanya hanya merupakan fenomena elite yang mendorong dan  mengeksploitasi sentimen rakyat. Tidak kalah penting dari elite  nasionalis Arab, elite-elite ulama Islam juga mengeksploitasi keyakinan  agama untuk mendorong kebencian sosial. 
Namun gelombang  protes yang terjadi belakangan ini sungguh merupakan gerakan rakyat,  yang tidak berafiliasi pada elite nasional maupun elite religius. Inilah  yang menyebabkan dunia begitu memperhatikan revolusi di kawasan Timur  Tengah. 
Demokratisasi memang menjadi agenda utama dunia sejak  runtuhnya komunisme pada 1989. Dalam kasus dunia Arab, gerakan elite  yang mendominasi pergantian pimpinan di negara-negara kawasan itu  menjadi fenomena biasa, yang bahkan dunia Barat demokratis pun tidak  terlalu ambil pusing. 
Alasannya, pergantian seorang diktator  di Timur Tengah, biasanya diikuti oleh munculnya diktator baru. Bagi  dunia Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), pergantian diktator baru di  Timur Tengah itu penting untuk mengukuhkan hegemoni mereka di kawasan  tersebut. 
Sehingga apapun bentuk revolusi yang dijalankan di  kawasan Timur Tengah, baik itu kudeta militer, gerakan nasionalisme,  atau gerakan elite ulama, tidak terlalu mengkhawatirkan. Sebab,  ujung-ujungnya para diktator itu tunduk kepada kehendak AS.
Bagaimanapun,  revolusi Timur Tengah yang sekarang terjadi memiliki karakteristik  berbeda. Revolusi ini tidak digerakkan oleh elite, melainkan gerakan  rakyat sekuler yang sama sekali terlepas dari gerakan-gerakan  sebelumnya. 
Pada aksi ini juga kita hampir tidak menyaksikan  satu pun sosok kepemimpinan yang kuat. Bahkan, pemimpin-pemimpin gerakan  revolusi di kawasan Timur Tengah saat ini anonim. 
Mereka  datang dari rakyat yang sudah muak akan tingginya angka korupsi, dan  rendahnya keterwakilan di pemerintahan, serta kemiskinan yang menjerat  leher mereka.
Karena itu dapat diktakan bahwa revolusi Timur Tengah saat ini merupakan gerakan sekuler. 
Jika  di masa-masa sebelumnya gerakan revolusi didorong oleh kudeta militer  ataupun identitas keagamaan, maka apa yang kita saksikan di berbagai  negara Timur Tengah sekarang sudah sangat terlepas dari kedua hal  tersebut. Mereka tidak bergerak berdasarkan identitas primordial. Mereka  bergerak atas nama perjuangan keadilan. 
Sebagai suatu  gerakan sekuler, jelas revolusi di Timur Tengah mengkhawatirkan banyak  bangsa demokratis di dunia Barat. Di sinilah kita dapat menyaksikan  hipokrisi dan standar ganda negara-negara yang mengaku sebagai  demokratis. 
Di satu sisi, bangsa-bangsa itu menjunjung tinggi  demokrasi dan mendorong demokratisasi di seluruh dunia, namun di sisi  lain, mereka juga berhitung untuk tidak kehilangan hegemoni dan kendali  atas kawasan Timur Tengah yang selama ini mereka nikmati. 
Gerakan  sekuler ini akan menjadi gerakan yang sungguh mengancam, tidak hanya  bagi pemerintah otoriter di kawasan Timur Tengah, melainkan juga ancaman  bagi menurunnya kendali dan hegemoni AS di kawasan itu.
Sumber: http://www.harian-global.com/

 
0 komentar:
Posting Komentar