“Memang lebih dari 50% kemajuan masyarakat kita ditebus oleh jiwa yang bersemangat adventure itu, dalam semua lapangan hidup, politik, ekonomi, militer, bahkan semua cabang ilmu.” (Tan Malaka; pengantar Thesis. 10 Juni 1946).
“Manusia adalah mahluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia tidak dapat tidak berkehendak.” (Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri; Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal)
Soe Hok Gie (lahir di Jakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktifis Indonesia dan Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa mandarin (Hanzi). Leluhur Soe HokGie sendiri adalah berasal dari propinsi Hainan, RRC.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demontran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Dibawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang dipersimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di Gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Dari sejarah pergolakan Mahasiswa menentang rezim totaliter Orde Lama (ORLA) pada dekade 1960-an, bangsa Indonesia patut mencatat dan mengenang satu nama. Ia patut dikenang tidak semata-mata karena andil dan keterlibatannya dalam menyukseskan perjuangan mahasiswa menghancurkan otoritarianisme kekuasaan ORLA, tetapi lebih dari itu, ia pantas mendapatkan tempat terhormat di hati dan ingatan warga bangsa karena totalitas perjuangan dan sikap hidupnya yang luar biasa dan mengagumkan dalam upaya menegakkan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Sebagai seorang aktivis mahasiswa, ia adalah pribadi yang istimewa. Hal itu tampak melalui cakrawala pemikirannya yang visioner, militansinya yang nyaris tanpa batas, serta komitmennya yang kukuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan humanisme universal.
Karakter demikianlah yang selanjutnya menghadirkan sosoknya sebagai intelektual dan humanis sejati. Dialah Soe Hok Gie, sosok intelektual muda pendobrak tirani ORLA yang dibahas oleh John Maxwell dalam bukunya, "Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani".
Soe Hok Gie bukanlah nama yang populer. Bahkan, sebagai aktivis mahasiswa, sosoknya hanya dikenal oleh komunitas masyarakat terbatas. Pikiran dan sepak terjang perjuangannya tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Menurut penulisnya, hal itu karena kendati pernah terlibat secara aktif dalam politik, ia berbeda dengan para tokoh politik dari generasinya. Ia tidak mencurahkan seluruh hidupnya untuk politik.
Dia (Gie) adalah sosok intelektual “idealis” yang menyerukan kepada generasinya untuk berkata “tidak” terhadap kondisi yang inconsistent terhadap cita-cita revolusi ’45. Menggelorakan api perjuangan membela kaum proletar yang tersisih secara ekonomi dan politik. Manusia baru adalah generasi yang berani mengatakan “tidak” generasi yang sangat bangga dan sangat sadar akan “sense of mission dan sense of commitment.” (Artikel; Manusia Baru, Agustus 1969).
Dalam perenungannya Gie, menetapkan dengan konsisten sebuah Quote “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, Yang kedua di lahirkan tetapi mati muda, dan Yang tersial adalah umur tua, rasa-rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda!”.
Kecaman yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie dilandaskan atas pemikiran yang jujur, tentu atas dasar itikad yang baik. Ia tidak selalu benar, tapi Ia selalu jujur dalam bertutur, Ia pun tidak melontarkan kritikan-kritikan dan kecaman-kecamannya tanpa merasa prihatin atas kondisi yang terjadi pada saat itu. Sayang sekali kehidupannya tergolong singkat, yakni hanya 27 tahun, juga tidak banyak memberikan peluang padanya untuk mengukir prestasi gemilang, baik secara individual maupun politis. Walau demikian, menyimak kegigihan perjuangannya, sukar untuk membantah bahwa anak muda ceking keturunan Tionghoa itu adalah seorang intelektual dan pejuang yang luar biasa.
Kita cermati perbedaannya dengan sekarang…!!
Romantika Soe Hok Gie yang seorang aktivis mahasiswa revolusioner serta memori indah penggulingan rezim Soeharto 1998 lalu, nampaknya masih menghinggapi rekan-rekan mahasiswa sampai saat ini. Mereka yang pada tahun tersebut masih memakai seragam putih-abu2, atau bahkan putih biru, pastilah segera menemukan sosok heroik mereka yang baru, dan pahlawan itu disebut mahasiswa. Segera setelah mereka masuk menjadi mahasiswa, maka mereka akan mewujudkan sosok yang heroik tersebut dalam dirinya sendiri. Ikut turun ke jalan(meski gak tau apa2 dan cuma kebagian megang poster berisi tuntutan), rela meninggalkan ruang perkuliahan, mengorbankan rupiah demi rupiah yang telah dibayarkan orang tua mereka untuk biaya kuliah, dan mengorbankan hal-hal lain demi memperjuangkan nasib rakyat, yang bahkan rakyat itu sendiri kadang tidak meminta untuk diperjuangkan dengan cara seperti itu.
Sekarang kita cermati aksi-aksi para “pahlawan” jalanan tersebut, sangat tipikal sekali dan homogen. Modal pengeras suara, poster tuntutan, dan kadang aksi teatrikal, mereka berbondong-bondong turun ke jalan, menuju ke depan kantor pemerintah(apapun itu), kemudian berteriak2 sampe tenggorokan kering menuntut perubahan-perubahan yang sesuai dengan idealisme mereka, yang mungkin mereka kira melakukan perubahan yang seperti mereka inginkan tersebut semudah memencet remote TV untuk mengganti chanel. Kalo udah capek dan kadang kalah bentrok sama aparat, ya mereka bubar. Perubahan yang dituntut sampe tenggorokan kering pun hanya tinggal wacana. Lain hari mereka turun ke jalan lagi dengan mengemas isu dan tuntutan yang berbeda, ya cuma kayak gitu terus.
Kemanakah Arah Perjuangan Mereka.???
Akhir-akhir ini saya sering ngenes sendiri melihat aksi rekan-rekan mahasiswa yang kebetulan masuk TV, tuntutan yang paling aktuil saat ini apalagi kalo bukan turunkan harga BBM. Yang bikin tambah seru ada acara bakar-bakar ban di jalan segala, yang bikin sedih adalah tindakan anarkis para demonstran yang merugikan rakyat yang saat itu sedang mereka perjuangkan nasibnya, yang bikin konyol ada sesi mencegat mobil-mobil plat merah. Lha apa setiap yang menumpang mobil plat merah itu bisa menurunkan BBM?
Menurut pandangan saya, untuk saat ini kita gak akan bisa merubah apapun hanya dengan berteriak2 di pinggir jalan menuntut ini itu, bakar ban bekas, menantang aparat, atau menyandera mobil plat merah. Kalo memang paham betul kesalahan pemerintah itu dimana, dan bagaimana cara meluruskannya yang pada akhirnya mampu untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia, mari lakukan itu dengan cara yang intelek. Sebagai kaum intelektual, kita seharusnya paham betul kalo revolusi tidak harus dengan aksi fisik. Kalo ingin merubah sebuah sistem masuklah ke dalam sistem itu, perbaiki dari dalam. Kalo dari beratus-ratus aktivis demonstrasi sekarang mempunyai pemikiran seperti itu, saya sangat yakin anak cucu saya kelak bisa merasakan keadaan Indonesia yang jauh lebih baik dari sekarang ini. Gak perlulah demo-demo anarkis kayak gitu lagi, terlalu banyak yang dikorbankan dengan hasil yang tidak jelas juga.
Ada sebuah film dokumenter mengenai kisah mantan aktivis demonstrasi 1998, yang pada intinya dia sampe sekarang tetap harus berjuang mati-matian untuk dapat menghidupi anak istrinya, meski mungkin dia telah turut berperan menyelamatkan bangsa ini dari rezim otoritarian. Pesannya yang sangat mengena adalah, berjuanglah dengan konsep yang jelas, jangan asal turun ke jalan teriak2 tanpa paham apa yang sedang diteriakkan.
Berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar