Sepanjang Indonesia merdeka dapat dikatakan belum pernah sekalipun suksesi kepemimpinan nasional berlangsung dengan mulus. Empat tokoh yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini, Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Abdurrahman Wahid, semuanya terpaksa harus menyerahkan kekuasaannya dengan cara yang tidak menyenangkan.
Dalam kacamata sejarah, berulangnya suksesi kepemimpinan nasional yang tidak mulus hingga tiga kali berturut-turut bisa jadi menggambarkan bebagai kemungkinan. Bisa memperlihatkan kenyataan bahwa bangsa ini memang tidak pernah mau belajar dari sejarah atau tidak pernah berupaya menjadikan sejarah sebagai guru kehidupan. Sejarah sepertinya hanya dilihat sebagai sekedar rekaman masa lalu yang di dalamnya sama sekali tidak memiliki nilai-nilai “pelajaran”.
Bisa jadi pula, gambaran sejarah tentang berbagai peristiwa di seputar suksesi kepemimpinan nasional belum terungkap secara jelas sehingga terasa sulit bagi bangsa ini untuk dapat menarik pelajaran secara optimal. (Reiza D. Dienaputra)
Bisa jadi pula, gambaran sejarah tentang berbagai peristiwa di seputar suksesi kepemimpinan nasional belum terungkap secara jelas sehingga terasa sulit bagi bangsa ini untuk dapat menarik pelajaran secara optimal. (Reiza D. Dienaputra)
Misteri tampaknya merupakan hal yang merangsang sekaligus menggemaskan dalam sejarah Indonesia. Dalam hal ini sejarah peristiwa (histoire evnmentielle), terutama yang berhubungan dengan tokoh nasional. Sejarawan akan selalu memiliki keingintahuan terhadap sesuatu di balik berita. Namun kekecewaan akan timbul karena ternyata suatu peristiwa, misalnya sidang pengadilan, hanya berakhir tanpa menyeret sang dalang kejahatan. (Asvi Warman Adam)
Manakala penyebab timbulnya semua kebodohan atau ketidakmampuan dalam “membaca” sejarah dikarenakan kekuranglengkapan gambaran tentang masa lampau itu sendiri maka pemecahannya tidak lain haruslah dilakukan upaya-upaya yang signifikan sehingga kelampauan tersebut dapat tergambar secara jelas dan jernih. Dalam kaitan itu pula, sulit untuk memungkiri bahwa dari semua suksesi kepemimpinan nasional yang pernah terjadi, suksesi yang pertama relatif merupakan suksesi kepemimpinan nasional yang hingga kini paling belum tergambarkan secara utuh. Satu di antara misteri terpenting yang hingga kini menyelimuti suksesi kepemimpinan nasional pertama adalah misteri seputar Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Padahal, Supersemar menempati posisi penting dalam konflik politik saat itu sekaligus menjadi “kunci” pembuka yang memberi jalan bagi terjadinya suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. Dengan kata lain, tanpa adanya Supersemar bisa jadi tidak akan pernah berlangsung suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. Sayangnya, dokumen yang amat sangat penting bagi perjalanan sejarah bangsa ini beserta proses sejarah yang melingkupinya masih diselimuti kabut tebal.(Reiza D. Dienaputra)
SURAT Perintah Sebelas Maret, surat yang ditandatangani Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk mengamankan situasi yang terjadi saat itu. Belum jelas benar apa isi surat itu. Banyak versi yang menyebut soal isi surat itu. Ada yang menganggap itulah surat yang kemudian digunakan Soeharto yang saat itu memegang komando Kostrad untuk “mengkudeta” Soekarno. Ada pula yang menganggap dengan surat itu Soeharto bisa melakukan apa saja. Dan di mana keberadaan Surat Perintah yang merupakan awal Orde Baru. (kabar news)
Misteri Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) belum terpecahkan sampai sekarang. Apakah surat perintah itu betul-betul ada? Yang jelas, sampai hari ini naskah aslinya belum ada pada Arsip Nasional. Padahal, dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan, Pasal 11, tercantum “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf “a” undang-undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun”. Kita tentu menduga orang yang diberi tugas itulah yang menyimpan surat penting itu dengan hati-hati. (Majalah Tempo)
Semasa Orba berkuasa keberadaan Supersemar memperoleh tempat yang istimewa bahkan cenderung disakralkan sehingga terminimalkan dari berbagai komentar atau pandangan kritis. Pemerintah Orba sendiri yang cenderung menutup rapat setiap perbedaan pendapat yang berkaitan dengan simbol-simbol politiknya tampak selalu berupaya untuk hanya mengakui satu kebenaran sejarah yakni kebenaran sejarah sebagaimana yang ditafsirkannya. Dalam konteks inilah aksioma sejarah yang dikembangkan Benedetto Croce bahwa “true history is present history”, berlaku secara nyata, bahkan cenderung berlebihan dalam alam Orba.(Reiza D. Dienaputra)
Pemitosan sejarah di zaman Orde Baru atau rezim Soeharto paralel dengan pemitosan Soeharto itu sendiri. Semenjak kisah “SO 1 Maret 1949”, Supersemar dan “Pembangunan” pemitosan Soeharto kental sekali, malahan sempat muncul wacana “Soehartoisme” betapapun itu cukup remeh dibandingkan dengan misalnya “Sukarnoisme”. Kemiripannya terletak dalam doxologi sejarah keduanya, yakni pengisahan ketokohan dalam serba mengagung-agungkan, atau kultus individu.(Kedaulatan Rakyat)
Terkubur di Liang Kubur
Naskah asli Supersemar hingga kini masih menjadi misteri. Ketiga jenderal yang mendatangi Presiden Soekarno ke Bogor saat penandatanganan surat itu, yakni Jenderal M Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rahmat, sudah almarhum. Di bagian lain, Djoko mengatakan, pihaknya saat ini juga tengah mengumpulkan arsip-arsip terkini yang cukup penting.(episweb)
Misteri seputar kelahiran Supersemar di Istana Bogor didasarkan atas dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dalam proses pembuatan Supersemar. Apakah surat perintah tersebut dikeluarkan Soekarno melalui suatu proses pertimbangan yang matang dan terencana? Adakah kekuatan-kekuatan eksternal yang memaksa Soekarno untuk mengeluarkan surat perintah tersebut? Apakah Soekarno memformulasikan sendiri konsep surat perintah tersebut ataukah hanya tinggal menandatangani saja? Bagaimanakah suasana di dalam dan di sekitar ruangan saat surat perintah tersebut dibuat dan dikeluarkan? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut di antaranya akan dapat memberikan eksplanasi tentang ada tidaknya unsur-unsur yang bisa dikategorikan sebagai tindakan kudeta atas kekuasaan presiden. Kecurigaan bahwa Supersemar adalah sebuah kudeta atas kekuasaan Soekarno secara otomatis akan terbantahkan manakala hasil rekonstruksi ulang sejarah memperlihatkan jawaban tidak adanya sama sekali unsur-unsur yang mengindikasikan ke arah tersebut.
Sementara itu, berkaitan dengan otentisitas Supersemar misteri yang masih muncul hingga kini adalah tentang benar tidaknya isi Supersemar sebagaimana yang terpublikasikan selama ini. Ada anggapan bahwa isi Supersemar telah diubah sedemikian rupa oleh rezim Orba semata-mata untuk melegitimasikan kekuasaan politiknya. (Reiza D. Dienaputra)
Ketika Supersemar yang asli hilang, M. Jusuf menjadi tokoh yang diharapkan mau memberikakan penjelasan panjang untuk memudahkan pelacakan. Namun, tokoh yang tak suka menonjol itu berdiam diri. Mantan ketua Badan Pengawan Keuangan (BPK) itu lebih memilih mengonsentrasikan diri mengurus Masjid Al Markaz yang pendiriannya dia pelopori.
Tokoh yang citranya tetap cemerlang hingga akhir hayat itu lahir di Bone Selatan, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1928. Dia merupakan orang terakhir yang menjadi saksi pembuatan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 yang mengantarkan Pak Harto menjadi presiden. Dua orang saksi lainnya, Amirmachmud dan Basuki Rahmat, sudah lebih dahulu wafat.
Dalam biografi Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, antara lain ditulis bahwa Menteri Veteran Mayjen Basuki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf, dan Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966. Ketiganya kemudian pulang menghadap Soeharto sembari membawa surat perintah dari Soekarno. Segera setelah itu, Soeharto memimpin rapat staf dan mengundang semua Panglima Angkatan, lalu memerintahkan pembubaran PKI.
Jenderal (pur) TNI Mohammad Jusuf meninggal dunia di kediamannya di Jalan Sungai Tangka 23, Makassar, Sulsel, 9 September 2004 sekitar pukul 21.35 Wita. Mantan Menhankam dan panglima ABRI itu meninggal karena usia tua, 76 tahun, dengan membawa misteri supersemar ke liang kubur. (Jawa Pos)
Yang kita tidak ketahui, hingga kini, ialah bagaimana proses pertemuan ketiga jenderal dengan Soekarno? Yang juga misterius, apa isi surat Soekarno itu? Di mana naskah aslinya? Benarkah isinya tentang pelimpahan wewenang kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan negara? Dan apakah surat itu dibuat secara spontan atau di bawah tekanan? ( Info Anda)
Drs Ahmad Adaby Darban SU, sejarawan UGM menyatakan bahwa arsip Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) kemungkinan disimpan oleh Soeharto. “Soeharto adalah penerima surat perintah tersebut dari Presiden Soekarno dan dia merupakan pelaku yang terakhir hidup,” katanya di Yogyakarta, Senin, menanggapi pro kontra Supersemar 1966 setelah mantan Presiden Soeharto wafat. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui fakta sebenarnya soal Supersemar, dokumen asli harus ditemukan. “Dengan ditemukannya dokumen asli Supersemar diharapkan fakta sejarah yang selama ini terkesan samar bisa terungkap jelas,” katanya. Mengenai fakta sejarah yang selama ini banyak ‘dibelokkan’, ia mengatakan tidak perlu ada pelurusan sejarah sepeninggal Soeharto. “Karena pada hakikatnya tidak ada penulisan sejarah yang obyektif, semua tergantung pada pemimpin atau penguasa pada zamannya,” kata dia. Meski demikian jika ada fakta baru yang ditemukan, dapat dijadikan fakta tandingan termasuk mengenai Supersemar.(Kedaulatan Rakyat)
Dengan berpulangnya Soeharto selaku figur sentral surat perintah kenegaraan tersebut, Supersemar makin jelas kandungan ketidakjelasannya, alias menjadi misteri politik sekaligus misteri sejarah.
Dua Aspek Supersemar
Setelah 44 tahun dikeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), kasus ini masih menyimpan misteri.Teks aslinya belum terdapat pada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sedangkan proses mendapatkan surat itu semakin jelas.
Dokumen otentik dan cara memperolehnya dapat diibaratkan dua sisi mata uang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan.Kedua aspek itu seyogianya diulas secara berimbang. Dokumen Supersemar yang ada pada Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari beberapa versi. Namun, sesungguhnya perbedaan antarnaskah,misalnya mengenai tempat penandatanganannya apakah Jakarta atau Bogor, tidaklah mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah tersebut, satu atau dua halaman,itu hanya soal teknis. Yang penting dipahami bahwa awal 1966 itu tampaknya belum ada mesin fotokopi di lingkungan Kostrad.
Dengan demikian, surat itu distensil atau dengan kata lain diketik ulang. Bila demikian halnya, maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, pernyataan Ben Anderson bahwa Supersemar itu tertulis dalam kertas surat dengan kop MBAD juga masuk akal. Boleh jadi surat tersebut diketik ulang oleh seorang staf MBAD dengan kertas surat resmi yang berlogo AD.Pada masa itu pengetikan surat biasanya dilakukan dengan memakai kertas karbon (lembar di bawah karbon disebut tindasan). Dua nama pernah disebut sebagai pengetik surat itu yakni Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur dan Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa Letkol Ali Ebram.
Mana yang benar? Mungkin saja keduanya karena surat itu diketik minimal dua kali yakni draf dan surat asli. Jenderal M Jusuf adalah salah seorang pelaku sejarah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Setelah saksi lainnya meninggal, maka harapan tertumpu kepada sang jenderal yang pernah menjadi panglima ABRI ini.Dia mengatakan bahwa rahasia ini akan terbuka setelah dia tiada. Maka penerbitan buku biografi Jendral M Jusuf, Panglima Para Prajurit ditunggu masyarakat. Jusuf dalam biografinya mengungkapkan bahwa dia memiliki konsep pertama, konsep kedua (setelah dikoreksi Soebandrio dan Chairul Saleh), dan tindasan kedua dari surat perintah tersebut. Jadi, surat itu diketik dengan menggunakan kertas karbon sehingga selain dari surat asli terdapat pula tindasan pertama dan kedua.
Yang asli diserahkan kepada Basuki Rachmat, tindasan pertama dipegang Sabur, dan yang kedua diberikan kepada Jusuf.Tindasan pertama dan kedua tidak ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Seandainya hal ini benar,seyogianya keluarga M Jusuf dapat menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Namun, peluncuran buku yang diselenggarakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta tanggal 10 Maret 2006 menjadi semacam antiklimaks karena setelah itu Djoko Utomo Kepala ANRI menyatakan keraguannya terhadap keotentikan surat yang menggunakan logo Garuda Pancasila itu.
Menurut Djoko Utomo, surat yang dikeluarkan Presiden RI tanggal 11 Maret 1966 itu berlambangkan Padi-Kapas seperti pada undang-undang yang ditandatangani oleh presiden. Sedangkan lambang Garuda Pancasila digunakan oleh menteri/departemen. Masalahnya apakah di Istana Bogor selalu tersedia kertas surat yang berkop Padi-Kapas ini karena biasanya surat-surat resmi presiden dikeluarkan di Jakarta. Meskipun dokumen asli Supersemar itu belum ditemukan,toh beberapa versi yang ada sudah mengungkapkan substansi dari perintah tersebut.Yang jadi masalah bahwa ada bagian-bagian dari surat perintah itu yang tidak dijalankan Soeharto. Soeharto tidak melaporkan hasil pekerjaannya kepada Presiden Soekarno.
Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat tersebut yang perlu dijelaskan kepada masyarakat terutama kepada para siswa.Surat itu diberikan bukanlah atas kemauan dan keinginan Presiden Soekarno. Beliau menulis surat itu di bawah tekanan.Tiga Jenderal datang ke Istana Bogor untuk meminta surat tersebut. Sebelum berangkat ke Bogor ketiga perwira tinggi itu terlebih dahulu berunding dengan Soeharto di rumahnya di Jalan Haji Agus Salim,Jakarta. Tekanan yang diberikan kepada Presiden Soekarno tergambar dalam kesaksian yang ditulis Soebandrio.
Ketika surat itu dimanfaatkan untuk membubarkan PKI esok harinya (bahkan surat pembubaran partai komunis nomor tiga terbesar di dunia itu dikeluarkan Soeharto atas nama Presiden Soekarno dini hari tanggal 12 Maret 1966) terkesan bahwa Supersemar memang sengaja dipersiapkan untuk itu. Keputusan tersebut memperlihatkan bahwa Soeharto telah berani menantang Presiden Soekarno. Dengan kata lain, setelah keluarnya Supersemar secara de facto kekuasaan telah beralih dari tangan Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Supersemar Diberikan di Bawah Tekanan
Tanggal 9 Maret 1966 malam Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Presiden Soekarno, diminta oleh Asisten VII Men/ Pangad Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk juga membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Jelas upaya ini sepengetahuan Letjen Soeharto. Keduanya kemudian mendapat surat perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/ Pangad Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/ Pangad.Keduanya berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor.Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Presiden Soekarno menjadi marah dan melempar asbak kepadanya sambil berkata: “Kamu juga sudah pro- Soeharto!”Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan mengirim tiga orang jenderal ke Istana Bogor. Sementara itu mantan Kepala Staf Kostrad Kemal Idris mengajukan satu kalimat.
Katanya, ”Kalau saya tarik pasukan itu dari Istana, Presiden Soekarno tidak akan lari, kan?” Dengan kata lain, dia ingin mengatakan,kalau ”pasukan liar” yang berada di bawah komandonya ditarik dari sekeliling Istana belum tentu ada Supersemar. Seperti diketahui, Brigjen Kemal Idris pada waktu itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan RPKAD untuk mengepung Istana.Tujuan utamanya adalah menangkap Dr Soebandrio yang ditengarai bersembunyi di kompleks Istana.Memang pasukan-pasukan itu mencopot identitas mereka sehingga tidak mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai ”pasukan tidak dikenal” kepada Presiden Soekarno.
Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum tanggal 11 Maret 1966 yang semua menjadikan semacam ”tekanan” yang berfokus terhadap Presiden Soekarno. Dan puncak dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal di atas. Bila tidak ada demonstrasi dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana di Jakarta tentu peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak terjadi. (Koran Sindo)
Menjawab yang samar
Agar upaya penelusuran kembali sejarah Supersemar dapat berjalan seobjektif mungkin maka jelas perlu dilibatkan pakar-pakar sejarah yang memiliki integritas tinggi, sekaligus mampu memerdekakan diri dari berbagai kepentingan politik.
Adapun metode yang tampaknya paling tepat untuk digunakan dalam penelusuran atau penelitian kembali sejarah Supersemar ini tidak lain adalah sejarah lisan (oral history), dengan ciri utamanya wawancara sejarah terhadap saksi hidup yang mengalami dan melihat secara langsung proses kelahiran dan perjalanan Supersemar. Juga para saksi sejarah yang mendengar, merasakan atau memikirkan secara langsung saat berbagai peristiwa yang berkenaan dengan proses kelahiran dan perjalanan Supersemar tengah berlangsung.
Dari penelusuran kembali sejarah Supersemar, jelas akan muncul berbagai kemungkinan keluaran. Namun demikian, apapun hasil yang diperoleh dari penelusuran tersebut, satu hal yang pasti, penelusuran kembali sejarah Supersemar ini akan mampu membebaskan atau setidaknya mengurangi beban sejarah yang kini dipikul Supersemar. Sementara itu, dalam kaitannya dengan eksistensi Supersemar dalam pentas sejarah Indonesia, bila seandainya diperoleh temuan baru yang sangat berarti, bisa jadi akan melahirkan penafsiran baru, tidak hanya terhadap peran Soeharto dan ketiga jenderalnya tetapi juga terhadap jalannya sejarah Orba, khususnya tentang proses suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto. Hal itu tentunya sah-sah saja sepanjang semuanya tidak didasarkan atas kepentingan politik sesaat apalagi upaya balas dendam politik tetapi semata-mata didasarkan atas keinginan kuat untuk menyajikan sejarah apa adanya serta untuk mewariskan nilai-nilai “pelajaran” yang terkandung dalam peristiwa tersebut bagi segenap komponen bangsa. Khusus bagi para elit politik yang tengah berkuasa atau para calon elit politik, upaya penelusuran dan rekonstruksi ulang sejarah Supersemar diharapkan dapat menjadi “cermin kehidupan” sehingga tidak akan pernah sekalipun mencoba untuk berspekulasi mempermainkan jalannya sejarah ataupun memanipulasi data sejarah hanya untuk melegitimasikan sebuah kekuasaan. (Reiza D. Dienaputra)
Supersemar, sejatinya merupakan kumparan pokok pengungkit gerak berputarnya sejarah bangsa yang berhubung dengan misteriusnya sempat bergeser menjadi “Semar Super”. Penggeseran ini sekaligus memberitahukan bahwa pemitosan sejarah mulai terjadi. Padahal, secara kategoris sesungguhnya sejarah dan mitos sangat berlainan karakterisasinya — jika bukan berlawanan.
Betapapun harus disadari, tindakan manipulasi data atau fakta sejarah, cepat atau lambat bisa dipastikan akan menghadapi makhamah pengadilan sejarah. Dengan kata lain, bila arief membaca sejarah sebenarnya sejarah itu tidak akan pernah mungkin untuk dapat dimanipulasikan selamanya dan upaya manipulasi sejarah, hanyalah tindakan pembodohan yang tidak hanya akan merugikan para pelakunya tetapi yang lebih penting, bangsa secara keseluruhan.Sumber: http://adamcreate.wordpress.com/2010/05/11/96/
0 komentar:
Posting Komentar