Pengertian dasar Antropologi
Kata Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia.
Lalu, apa sebenarnya yang dipelajari Antropologi?
Menurut William A. Haviland, seorang antropologi Amerika, Antropologi adalah ilrnu pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Dengan mempelajari kedua hal tersebut, Antropologi adalah studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia.
Koentjaraningrat, bapak Antropologi Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh Haviland. la menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajan umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan (Koentjaraningrat, 1996:4).
Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia, berjasa meletakkan dasar-dasar perkembangan ilmu Antropologi di Indonesia. Sebagian hidupnya disumbangkan untuk perkembangan ilmu Antropologi dan aspek-aspek kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia. Lahir di Yogyakarta. 15 Juni 1923, sebagai soak tunggal pasangan RM Emawan Brotokoesoemo dan RA Pratisi Tirtotenojo. Sejak kecil Koentjaraningrat dididikdisiplindan mandiri oleh sang Ibu. Antropolog yang meraih geiar doktorandus di Universitas Indonesia (1952), MA dari Yale University (1956). dan Doktor Antropologi di Ul tahun 1958 ini. terkenal antara lain karena kemampuannya menuIis berbagai buku dan artikel ilmiah dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. serta diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Jepang. Disertasi Koentjaraningrat, Beberapa Metode Antropologi dalam Penyelldikan Masyarakat dan Kelmdayaan dl Indonesia (1958), dianggap sebagai langkah awal ke arah pemenuhan kebutuhan informasi untuk pendidikan Antropologi.
Karena kita sering kali tidak mampu memahami dan menerima dengan terbuka beraneka ragam suku bangsa, kebudayaan, agama, dan keyakinan itu. Sering kali kita dibatasi oleh prasangka dan stigma terhadap mereka yang berbeda dengan kita. Prasangka dan stigma itu bertumpuk dan tiba-tiba meledak menjadi konflik terbuka seperti yang terjadi di Ambon, dan konflik Dayak-Madura di Kalimantan. Belajar Antropologi merupakan langkah awal bagi kita untuk berpikir terbuka, sehingga mampu memahami dan menerima berbagai perbedaan yangada di sekitar kita.
Tujuan Antropologi sebagai ilmu
Secara akademis, Antropologi berusaha mencapai sebuah pemahaman tentang manusia secara fisik, manusia dalam masyarakatnya, dan manusia dengan kebudayaannya. Secara praktis, Antropologi berusaha membangun suatu pandangan bahwa perbedaan manusia dan kebudayaannya merupakan suatu hal yang harus dapat diterima, bukan sebagai sumber konflik tetapi sebagai sumber pemahaman baru, agar secara terus-menerus manusia dapat merefleksikan dirinya. Secara praktis, kajian ilmu Antropologi dapat digunakan untuk membangun masyarakat dan kebudayaannya tanpa harus membuat masyarakat dan kebudayaan itu, kehilangan identitas atau tersingkir dari peradaban.
Sejarah Perkembangan Antropologi
Antropologi merupakan cabang ilmu yang usia perkembangannya relatif lebih muda dari cabang ilmu lainnya. Ilmu ini sebenarnya mulai berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia. Lambannya perkembangan Antropologi pada masa-masa awal disebabkan kegagalan masyarakat Eropa melihat dan memahami kenyataan bahwa antara diri mereka dan bangsa-bangsa lain di luar mereka (daerah-daerah lain di dunia), sebenarnya memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang sama.
Menurut Haviland, sebelum akhir abad ke-18, masyarakat Eropa selalu menganggap orang-orang dengan kebudayaan berbeda, yang tidak memiliki nilai-nilai budaya Eropa, adalah orang “biadab”, “buas”, atau berperilaku “barbar”. Baru di akhir abad ke-18, banyak masyarakat Eropa menganggap nilai, norma, dan perilaku bangsa-bangsa asing itu sangat relevan untuk memahami nilai, norma, dan perilaku mereka sendiri. Hal ini terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-18 di Eropa, didominasi oleh berbagai usaha untuk menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam. Selain itu, sebelum akhir abad ke-18 masyarakat Eropa masih sangat kuat dipengaruhi oleh ketatnya penafsiran terhadap teks-teks Alkitab. Kesangsian terhadap kemampuan Alkitab untuk menjelaskan tentang lebih banyak keanekaragaman manusia telah mendorong berkembangnya kesadaran bahwa studi tentang bangsa-bangsa “biadab”, dan ‘tartar” itu sebenarnya adalah studi tentang seluruh umat manusia (Haviland, 1988:10-11).
0 komentar:
Posting Komentar