Biarkan "Perang Bubat" Berlanjut
UMUMNYA sejarah “Perang Bubat” yang diungkapkan dalam bentuk novel atau prosa liris, hampir sama, menceritakan tentang gagalnya pernikahan Dyah Pitaloka (Citraresmi) dengan Hayam Wuruk akibat pengkhianatan Mahapatih Gajah Mada. Tokoh Gajah Mada menjadi sosok yang dibenci urang Sunda karena Gajah Mada dianggap berkhianat kepada rajanya, Prabu Hayam Wuruk.
UMUMNYA sejarah “Perang Bubat” yang diungkapkan dalam bentuk novel atau prosa liris, hampir sama, menceritakan tentang gagalnya pernikahan Dyah Pitaloka (Citraresmi) dengan Hayam Wuruk akibat pengkhianatan Mahapatih Gajah Mada. Tokoh Gajah Mada menjadi sosok yang dibenci urang Sunda karena Gajah Mada dianggap berkhianat kepada rajanya, Prabu Hayam Wuruk.
Dengan tipu daya untuk menyulut amarah Linggabuwana, Gajah Mada  meminta agar Pitaloka – yang tadinya akan dijadikan permaisuri Hayam  Wuruk, agar diserahkan sebagai upeti. Gajah Madalah yang mengobarkan api  peperangan, ketika hati Maharaja Linggabuwana (ayah Pitaloka) terluka,  merasa dihina dan direndahkan, lalu memilih untuk melawan karena tidak  mau menyerahkan putrinya sebagai upeti. Peperangan yang tak seimbang  itu, tentu saja lebih merupakan sebuah pembantaian. Maharaja  Linggabuwana, permaisuri, dan pasukan pengawalnya gugur di Bubat.  Sementara Pitaloka memilih bunuh diri demi harga diri. Satu-satunya  pengawal yang berhasil lolos adalah Pitar. Kisah tragis itu membuat  banyak urang Sunda yang kanyenyerian, sakit hati, dan perasaan itu tetap  terpelihara, hingga sekarang.
Menurut arkeolog lulusan Uiversitas Indonesia, Dr. Agus Aris  Munandar, umumnya cerita tentang Perang Bubat yang mengilhami para  penulis fiksi sejarah, bersumber dari buku Kidung Sunda. Akan tetapi,  salah seorang pengarang yang paling banyak menulis fiksi berdasarkan  peristiwa dalam sejarah Sunda, Yoseph Iskandar, termasuk novelnya  mengenai Perang Bubat, menyebut sumbernya berdasarkan naskah “Pangeran Wangsakerta”.
Ketika berlangsung “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” di Pusat  Informasi Majapahit, Trowulan, Jawa Timur, tanggal 30 September lalu,  Dr. Agus Aris Munandar menyampaikan tafsir baru mengenai Perang Bubat.  Menurut Agus, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Pitaloka bukanlah  atas prakarsa Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi. Pernikahan itu justru  telah direncanakan Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuwana. Gajah  Mada menginginkan pernikahan itu, sebab niatnya untuk mempersatukan  Sunda dengan Majapahit akan terwujud tanpa harus melalui peperangan. Hal  yang sama juga diharapkan oleh Maharaja Linggabuwana karena pernikahan  itu akan membuat wilayah Kerajaan Sunda semakin luas.
 Lalu  kenapa Gajah Mada berkhianat? Inilah yang dianggap sebagai tafsir baru  Agus. Ternyata tanpa sepengetahuan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, diam-diam  orang tua Hayam Wuruk (Cakradara/ Tribhuwanatunggadewi) telah  menjodohkan Hayam Wuruk dengan Padukasori, putri Kudamerta/Rajadewi  Maharasasa. Rajadewi adalah adik Tribhuwanatunggadewi. Kudamerta yang  mendengar Gajah Mada telah melamar Pitaloka sebagai permaisuri Hayam  Wuruk, berhasil memengaruhi Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi untuk  menggagalkan pernikahan tersebut. Gajah Mada terpaksa mengikuti kemauan  orang tua Hayam Wuruk, mengubah posisi Pitaloka yang tadinya sebagai  permaisuri, menjadi selir. Sikap Gajah Mada tersebut dirasakan Maharaja  Linggabuwana sebagai penghinaan padahal Gajah Mada sendiri merasa sedih  harus berbuat seperti itu. Maharaja memilih untuk berperang daripada  menyerahkan putrinya sebagai selir. Maka terjadilah Perang Bubat.  Akibatnya, menurut Agus, “Gajah Mada disalahkan oleh sejarah”.
Lalu  kenapa Gajah Mada berkhianat? Inilah yang dianggap sebagai tafsir baru  Agus. Ternyata tanpa sepengetahuan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, diam-diam  orang tua Hayam Wuruk (Cakradara/ Tribhuwanatunggadewi) telah  menjodohkan Hayam Wuruk dengan Padukasori, putri Kudamerta/Rajadewi  Maharasasa. Rajadewi adalah adik Tribhuwanatunggadewi. Kudamerta yang  mendengar Gajah Mada telah melamar Pitaloka sebagai permaisuri Hayam  Wuruk, berhasil memengaruhi Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi untuk  menggagalkan pernikahan tersebut. Gajah Mada terpaksa mengikuti kemauan  orang tua Hayam Wuruk, mengubah posisi Pitaloka yang tadinya sebagai  permaisuri, menjadi selir. Sikap Gajah Mada tersebut dirasakan Maharaja  Linggabuwana sebagai penghinaan padahal Gajah Mada sendiri merasa sedih  harus berbuat seperti itu. Maharaja memilih untuk berperang daripada  menyerahkan putrinya sebagai selir. Maka terjadilah Perang Bubat.  Akibatnya, menurut Agus, “Gajah Mada disalahkan oleh sejarah”.Dalam Dialog Budaya di Trowulan, saya mempertanyakan tentang sebutan  Perang Bubat, karena ada yang berpendapat, yang terjadi di Bubat itu  bukanlah perang, tetapi lebih layak disebut pembantaian terhadap Raja  Sunda bersama pengawalnya – sebab jumlah pasukan Gajah Mada dan pengawal  Raja Sunda tidak berimbang. Akan tetapi menurut Agus, dalam semua  naskah kuno, selalu disebut adanya Pabubat atau Perang Bubat. Sementara  itu, wartawan senior Her Suganda lebih suka menyebutnya sebagai  “Peristiwa Bubat”.
Dalam “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” yang berlangsung tanggal  21 Oktober di Hotel Preanger, Agus menyampaikan tafsir barunya itu di  hadapan sejumlah tokoh Sunda. Reaksinya, ada yang bisa mendengarkan dan  memahami tafsir baru tersebut, tetapi ada juga yang tetap meyakini Gajah  Mada sebagai tokoh yang telah berkhianat, dengan segala kelicikannya  untuk menaklukkan Sunda.
Karakter kepemimpinan
Ketika saya menulis prosa liris yang diberi judul “Citraresmi –  Riwayat Menyayat Perang Bubat” (diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama),  saya mengungkapkan peristiwa di Bubat itu seperti yang diyakini umumnya  masyarakat Sunda selama ini. Tidak ada tafsir baru seperti Dr. Agus.
Kalaupun boleh disebut sebagai tafsir baru, melalui buku tersebut  saya lebih menitikberatkan terhadap karakteristik tokoh-tokoh utama  dalam Peristiwa Bubat itu, sebab dengan cara seperti itu kita akan lebih  jernih “memahami” sepak terjang mereka.
Tokoh utama yang saya maksud adalah Gajah Mada, Hayam Wuruk,  Pitaloka, Maharaja Linggabuwana, dan Bunisora Suradipati. Dalam prolog  buku tersebut, saya ungkapkan seperti ini: 
“Siapakah yang bersalah?
ketika masing-masing punya jawaban
untuk mewujudkan keinginan
Hayam Wuruk yang bijaksana
tapi kurang berani mewujudkan keinginan
Gajah Mada yang setia mengabdi pada negri
tapi terikat dan termakan sumpah sendiri
Maharaja Linggabuwana yang tulus dan lurus
tapi tak mampu membaca rekaperdaya
Citraresmi yang cantik dan berbakti
tapi terlalu setia mengikuti kata hati
Masing-masing memang punya alasan
untuk memilih yang terbaik
berbakti bagi negri
Biarkan sejarah bicara
apa adanya
mari kita buka kembali
lembaran silam yang kelam
dengan hati yang bening”.
Dalam buku prosa liris tentang Peristiwa Bubat itu, saya mempertajam  “mahadaya cinta” antara Hayam Wuruk dan Pitaloka, termasuk  mendramatisasi kematian Raja Sunda dan Pitaloka, sehingga akan tergambar  sikap Gajah Mada yang “menghalalkan segala cara” untuk mewujudkan  sumpah amukti palapanya.
Akan tetapi, Gajah Mada adalah seorang perwira tangguh yang punya  prinsip harus “selalu menang dalam perang”. Prinsip itu ia dedikasikan  untuk kehormatan raja dan kejayaan negeri. Dari sisi ini, sesungguhnya  kita harus bisa memahami karakter Gajah Mada. Ketika Hayam Wuruk  bersikukuh ingin menjemput Raja Sunda dan Pitaloka dengan upacara  kebesaran, Gajah Mada juga berusaha keras untuk menggagalkannya. Saya  mencoba mengungkapkannya secara imajinatif melalui sebuah ratapan  permohonan:
“Tolonglah hamba, Paduka
jangan biarkan hamba melanggar sumpah
yang akan menodai pengabdian
pada kebesaran raja dan negara
selama ini hamba tak pernah memohon balas jasa
dan tak pernah menuntut apa pun
karena pengabdian hamba lakukan
dengan ketulusan hati nurani
demi kejayaan negri
tapi hanya untuk kali ini saja
izinkan hamba untuk memohon
Paduka tak usah menyambut ke Tegal Bubat
biarkan hamba yang datang
menyambut tamu agung
calon prameswari baginda, Puteri Citraresmi”.
Hayam Wuruk akhirnya luluh, dan Gajah Mada diam-diam mengerahkan  ribuan pasukannya menuju Bubat. Ia meminta Raja Sunda agar menyerahkan  Pitaloka jadi upeti. Lalu terjadilah Peristiwa Bubat itu.
Maharaja Linggabuwana, saya gambarkan sebagai raja yang berpikiran  lurus, tidak “punya pikir rangkepan”, tidak bisa membaca rekaperdaya.  Ketika diingatkan oleh adiknya Bunisora Suradipati agar jangan pergi ke  Majapahit, jangan mau menyerahkan Pitaloka untuk dinikahkan dengan Hayam  Wuruk, sebab kalau Raja datang untuk menyerahkan putrinya, berarti ia  telah melanggar adat Karuhun. Menurut Bunisora, semestinya Hayam Wuruk  yang datang ke Kerajaan Sunda untuk menikah dengan Pitaloka. Peringatan  Bunisora malah ditentang oleh Linggabuwana, meskipun dalam hatinya ia  merasa telah melakukan sesuatu yang tidak semestinya.
Saya sangat tertarik mengungkapkan karakter Bunisora, yang saya  anggap lebih pantas disebut sebagai “Bapak Bangsa”. Terbukti setelah  Peristiwa Bubat, calon raja yang masih kecil, Niskala Wastukancana (adik  Pitaloka) dididik oleh Bunisora, dipersiapkan untuk menjadi seorang  raja yang kelak memang menjadi raja terlama dalam memerintah, sekitar  100 tahun. Dalam epilog buku tersebut, saya menggambarkan sosok Bunisora  seperti ini:
“Akan halnya Bunisora
ia menjadi begitu berjasa
karena telah belajar dari peristiwa kelam
tanpa menebarkan dendam
melainkan telah mewariskan keteladanan
yang kelak mengantar Niskala Wastukancana
menjadi raja yang paling lama berkuasa
raja yang menebarkan rasa aman dan tenteram”.
Hayam Wuruk dan Pitaloka adalah dua tokoh belia, yang saya gambarkan lebih suka “menuruti keinginan orang tua”.
Peristiwa Bubat adalah kejadian sejarah, dan akan lebih terasa  hikmahnya bila digunakan sebagai tempat untuk becermin. Pemahaman kita  tentang Peristiwa Bubat akan lebih jernih seandainya kita memosisikan  diri untuk belajar dari peristiwa tersebut, termasuk memahami  tokoh-tokoh pelakunya, memahami karakternya. Sebaiknya kita memahami  mengapa Gajah Mada, Linggabuwana, Hayam Wuruk, dan Pitaloka, memutuskan  sesuatu yang dianggapnya “harus dilakukan”, dan kemudian menjadi mata  rantai sebab akibat Peristiwa Bubat. Saya mencoba mengungkapkannya  seperti ini:
“Demikianlah kisah yang terpatri
di sanubari orang Sunda
melekat turun-temurun
dari masa ke masa
kadang dipahami
sebagai suatu pantangan
yang berlebihan
Padahal kalau kita simak
dengan sikap yang bijak
maka akan nampak
begitu banyak
tokoh pelaku sejarah
dalam Perang Bubat
yang teguh pada pendirian
dengan segala kelebihan
dan kelemahan”.
Dengan sudut pandang seperti itu, setiap peristiwa bersejarah akan  dipahami sebagai rangkaian pembelajaran, tanpa harus terlibat dalam  perasaan yang dialami tokoh-tokohnya. Begitu juga, ketika kemudian  ditemukan hal-hal baru berdasarkan bukti-bukti ilmiah, maka akan selalu  menjadi sesuatu yang berharga untuk dikaji.
Kalau kemudian ada yang bertanya, setujukah Anda jika Peristiwa Bubat  dibuat film? Saya akan bilang setuju, tentu saja dengan catatan, film  tersebut harus digarap dengan sungguh-sungguh, sehingga hasilnya menjadi  sebuah karya yang bisa dibanggakan, apalagi kalau menjadi sebuah karya  yang monumental. Kalau hasilnya hanya untuk meraih keuntungan semata,  tanpa memedulikan kualitas – bahkan ke luar jalur, wajar bila banyak  yang merasa keberatan.
Terjadinya kontroversi tentang Peristiwa Bubat, apakah itu munculnya  tafsir baru atau kisah baru, tidaklah menjadi soal sepanjang itu  berdasarkan penemuan-penemuan autentik yang bisa dipertanggung jawabkan  secara keilmuan. Terlebih lagi, jika itu labelnya sebuah fiksi, maka  pengarang akan lebih bebas mengumbar imajinasi.
Biarkan, bila banyak yang tertambat terhadap Peristiwa Bubat. Dengan  begitu, generasi berikutnya akan mengenal bahkan memahami peristiwa bersejarah secara kritis. 
Tulisan : Eddy D. Iskandar,/Penulis Skenario/Ketua Umum FFB/Pemred “Galura”, Sumber PR.
 
0 komentar:
Posting Komentar