SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG:
DITINJAU DARI SEJARAH PERKEMBANGAN SERTA PERANANNYA DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA
Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu-Jawa. Pertunjukan kesenian wayang merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa, yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme.
Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian, banyak ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang purwa disebutkan bahwa kesenian wayang mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Bhatara Guru atau Sang Hyang Jagadnata, yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Masa berikutnya yaitu pada zaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh putranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa, Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem cerita wayang purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran wayang purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.
Para sanak-keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh putranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan keraton diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada zaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu, wayang jenis ini biasa disebut wayang beber. Semenjak terciptanya wayang beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian keraton, tetapi malah meluas ke lingkungan di luar istana walau pun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan keraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana, diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan.
Pada masa pemerintahannya berakhir, Raja Brawijaya kebetulan sekali dikaruniai seorang putra yang memunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat putranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, misalnya raja, kesatria, pendeta, dewa, punakawan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang beber semakin semarak. Semenjak runtuhnya Kerajaan Majapahit dengan sengkala Geni Murub Siniram Jalma Saka (1433S/1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu, sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut memunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan keterampilan, para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari wayang purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya dicat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar-besaran di seputar pewayangan. Di samping bentuk wayang baru, diubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir/layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meski pun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun di sana-sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walau pun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Ada pun wayang beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada zaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang bewarna keemasan.
Pada zaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang gedog. Bentuk dasar wayang gedog bersumber dari wayang purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang/Kediri, Ngurawan, dan Singasari. Menurut pendapat G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari wayang gedog adalah wayang yang menampilkan cerita-cerita kepahlawanan dari "Kudawanengpati" atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang wali di Jawa menetapkan wayang gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan. Yang dijadikan lakon pokok adalah cerita Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut Kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Menak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang purwa dan diiringi dengan gamelan slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer, dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceritanya diambil dari pakem wayang gedog yang akhirnya disebut dengan topeng panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang purwa dan wayang gedog. Wayang ditatah halus dan wayang gedog dilengkapi dengan keris.
Di samping itu, baik wayang purwa maupun wayang gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan. Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma (1552 J/1670 M). Dalam pagelaran wayang purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal (1553 J/1671 M ). Sekitar abad ke-17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari cerita Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Amangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain, yaitu wayang wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit. Dalam pagelaran dipergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabharata. Perbedaan wayang wong dengan wayang topeng adalah: pada waktu main, pelaku dari wayang wong aktif berdialog; sedangkan pada wayang topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada zaman pemerintahan Sri Amangkurat IV, beliau dapat warisan kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertakhta di negara Mamenang/Kediri, kemudian pindah keraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang madya. Cerita dari wayang madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari cerita Mahabharata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam cerita panji.
Bentuk wayang madya, bagian atas mirip dengan wayang purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa zaman Revolusi fisik antara tahun 1945-1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan cerita-cerita perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang suluh.
Wayang suluh berarti wayang penerangan, karena kata suluh berarti pula "obor" sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang suluh, baik potongannya mau pun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang suluh, karena selalu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya.
Masa berikutnya yaitu pada zaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh putranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa, Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem cerita wayang purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran wayang purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.
Para sanak-keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh putranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan keraton diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada zaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu, wayang jenis ini biasa disebut wayang beber. Semenjak terciptanya wayang beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian keraton, tetapi malah meluas ke lingkungan di luar istana walau pun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan keraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana, diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan.
Pada masa pemerintahannya berakhir, Raja Brawijaya kebetulan sekali dikaruniai seorang putra yang memunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat putranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, misalnya raja, kesatria, pendeta, dewa, punakawan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang beber semakin semarak. Semenjak runtuhnya Kerajaan Majapahit dengan sengkala Geni Murub Siniram Jalma Saka (1433S/1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu, sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut memunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan keterampilan, para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari wayang purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya dicat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar-besaran di seputar pewayangan. Di samping bentuk wayang baru, diubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir/layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meski pun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun di sana-sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walau pun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Ada pun wayang beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada zaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang bewarna keemasan.
Pada zaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang gedog. Bentuk dasar wayang gedog bersumber dari wayang purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang/Kediri, Ngurawan, dan Singasari. Menurut pendapat G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari wayang gedog adalah wayang yang menampilkan cerita-cerita kepahlawanan dari "Kudawanengpati" atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang wali di Jawa menetapkan wayang gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan. Yang dijadikan lakon pokok adalah cerita Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut Kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Menak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang purwa dan diiringi dengan gamelan slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer, dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceritanya diambil dari pakem wayang gedog yang akhirnya disebut dengan topeng panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang purwa dan wayang gedog. Wayang ditatah halus dan wayang gedog dilengkapi dengan keris.
Di samping itu, baik wayang purwa maupun wayang gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan. Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma (1552 J/1670 M). Dalam pagelaran wayang purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal (1553 J/1671 M ). Sekitar abad ke-17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari cerita Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Amangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain, yaitu wayang wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit. Dalam pagelaran dipergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabharata. Perbedaan wayang wong dengan wayang topeng adalah: pada waktu main, pelaku dari wayang wong aktif berdialog; sedangkan pada wayang topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada zaman pemerintahan Sri Amangkurat IV, beliau dapat warisan kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertakhta di negara Mamenang/Kediri, kemudian pindah keraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang madya. Cerita dari wayang madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari cerita Mahabharata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam cerita panji.
Bentuk wayang madya, bagian atas mirip dengan wayang purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa zaman Revolusi fisik antara tahun 1945-1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan cerita-cerita perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang suluh.
Wayang suluh berarti wayang penerangan, karena kata suluh berarti pula "obor" sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang suluh, baik potongannya mau pun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang suluh, karena selalu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya.
Peranan Wayang dalam Menunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa
Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud mau pun seni pakelirannya. Namun demikian, di balik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu, sampai di mana seseorang dapat melihat nilai-nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana mau pun Mahabharata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan kesenian wayang sebagai sarana penunjang pendidikan kepribadian bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus.
Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Karena sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan pendidikan kepribadian bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis-Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan kepribadian bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian kepribadian bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu, sampai di mana seseorang dapat melihat nilai-nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana mau pun Mahabharata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan kesenian wayang sebagai sarana penunjang pendidikan kepribadian bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus.
Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Karena sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan pendidikan kepribadian bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis-Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan kepribadian bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis-konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengertian kepribadian bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut Hyang Suksma Kawekas. Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa Yang Tertinggi. Tokoh dewa-dewa yang diwujudkan dalam bentuk wayang, misalnya: Bhatara Guru, Narada, Wisnu, Brahma, Kamajaya, dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam cerita-cerita mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha, misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para dewa. Para dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau Bagawan Ciptaning, yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena Bagawan Ciptaning berhasil membunuh raksasa Nirwatakawaca, diberi hadiah Dewi Supraba dan pusaka Pasopati. Di sini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa .
2. Asas Kemanusiaan
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakikatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala-galanya. Kendati kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati memunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa pun. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putra Alengka bernama Raden Wibisono yang memunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas istri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada di luar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena itu, Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada di pihak yang salah.
Kebenaran yang sejati memunyai sifat universal, artinya berlaku kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa pun. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putra Alengka bernama Raden Wibisono yang memunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas istri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada di luar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena itu, Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada di pihak yang salah.
3. Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa kesatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, sedangkan Kumbakarna tetap berpihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimana pun Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walau pun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu, nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, sedangkan Kumbakarna tetap berpihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimana pun Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walau pun harus mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu, nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
4. Asas Kerakyatan/Kedaulatan Rakyat
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para kesatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan, Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para kesatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walau dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para kesatria di saat menghadapi bahaya, baik akibat ulah sesama manusia mau pun akibat ulah para dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai dewa yang ngejawantah atau dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Bhatara Ismaya, saudara tua dari Bhatara Guru.
Semar sebagai dewa yang berujud manusia, mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para kesatria utama yang berbudi luhur memunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir di tengah-tengah para kesatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para kesatria atau yang berkuasa.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walau dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para kesatria di saat menghadapi bahaya, baik akibat ulah sesama manusia mau pun akibat ulah para dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai dewa yang ngejawantah atau dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Bhatara Ismaya, saudara tua dari Bhatara Guru.
Semar sebagai dewa yang berujud manusia, mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para kesatria utama yang berbudi luhur memunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir di tengah-tengah para kesatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, Semar adalah simbol rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para kesatria atau yang berkuasa.
5. Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, secara bersama-sama memerintah negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita. Tiap-tiap tokoh Pandawa memunyai ciri watak yang berlainan, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur, bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.
Koleksi Wayang Museum Negeri Provinsi Jawa Timur Mpu Tantular
Di ruang Pameran Tetap Museum Negeri Provinsi Jawa Timur Mpu Tantular juga menampilkan Koleksi Wayang. Koleksi Wayang bisa dilihat di Ruang VII, yaitu Ruang Koleksi Kesenian
Jenis Koleksi Wayang yang dipamerkan:
I. Wayang Gedog; koleksi yang dipamerkan:
1. Raden Panji Inukertapab
2. Raden Panji Sinompradopo
3. Bancak
4. Doyok
5. Prabu Lembu Amiluhur
6. Aryo Joyosasono
7. Aryo Joyonagoro
II. Wayang Purwo Jawa Timur; koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Werkudoro
4. Kresno
5. Sencaki
6. Suyudono
7. Sengkuni
8. Dursosono
9. Bolodewo
10. Karno
III. Wayang Purwo Jawa Tengah; koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Nakulo
4. Sadewo
5. Werkudoro
6. Kresno
7. Suyudono
8. Dursosono
9. Indrajid
10. Kombokarno
IV. Wayang Kulit Bangkalan; koleksi yang dipamerkan:
1. Rama
2. Sinta
3. Lesmana
4. Sugriwa
5. Anoman
6. Dasamuka
7. Trijata
8. Sarpakenaka
9. Indrajid
10. Kombokarno
V. Wayang Klitik Purwo; koleksi yang dipamerkan:
1. Narodo
2. Durno
3. Jembawan
4. Bolodewo
5. Brotoseno
6. Kombokarno
VI. Wayang Klitik Damarwulan: koleksi yang dipamerkan:
1. Minakjinggo
2. Dayun
3. Browijoyo
4. Damarwulan
5. Layang Seto
6. Layang Kumitir
7. Noyo Genggong
VII. Wayang Golek Purwo; koleksi yang dipamerkan:
1. Anoman
2. Bimo
3. Bodronoyo
4. Sumantri
5. Prahasto
6. Bolodewo
VIII. Wayang Golek Damarwulan; koleksi yang dipamerkan:
1. Layang Kumitir
2. Patih Logender
3. Kencono Wungu
4. Damarwulan
5. Anjasmoro
6. Puyengan
7. Patih Tuban
8. Dayun
IX. Wayang Golek Menak; koleksi yang dipamerkan:
1. Dewi Rengganis
2. Umarmoyo
3. Umarmadi
4. Patih Abdullah Akbar
5. Raja Lamdaur
6. Menak Jayengrono
Kepustakaan
Kepustakaan
Nawasari Warta, Oktober 1994
Sumber: http://www.petra.ac.id/eastjava/culture/wayang.htm
0 komentar:
Posting Komentar