AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DENGAN BUDAYA PRIBUMI
Dikutip dari berbagai sumber 
Pada catatan sebelumnya, saya mencoba menelusuri sejarah keberadaan  masyarakat keturunan Tionghoa atau China di Kota Pandeglang, dari situ  kemudian terbesit suatu pertanyaan bagaimana pengaruh kebudayaan mereka  terhadap kebudayaan pribumi. Dengan kedatangan dan keberadaan mereka,  tentunya hal ini memberikan warna tersendiri pada kebudayaan Pribumi.  Islam yang dikenal sebagai agama global, universal dan tidak pernah  mengenal etnis atau perbedaan apapun. Hubungan baik antara etnis  Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang mayoritas beragama Islam pun  sudah lama terjalin.
Dalam salah satu ajaran Islam terdapat hadist Nabi yang menyebutkan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Pertanyaannya, kenapa yang disebut Cina, bukan negara-negara Eropa atau lainnya ? Padahal menurut Prof Dr Ahmad Baiquni, negeri Cina ketika itu belum Islam.
Lalu apa yang harus dipelajari di Cina ? Jelas bukan soal agama,  melainkan karena kebudayaan dan peradabannya yang tinggi. Sudah sejak  3000 tahun (30 abad) sebelum kelahiran Islam, ilmu pengetahuan dan   teknologi bangsa Cina sudah demikian maju sehingga dikenal sampai ke  Timur Tengah khususnya Arab. Mereka sudah menguasai ilmu astronomi  bahkan mempunyai  tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk  mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak.
Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa  mengembara sampai ke Timur Tengah.Mereka  membuka hubungan dagang sejak  Islam mulai berkembang di Timur Tengah sekitar abad ke 7. Mereka  memperkenalkan teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak,  dan ternyata hal ini menarik perhatian orang Arab.
Bangsa Arab menyambut baik kedatangan bangsa Cina beserta ilmu-ilmu  yang dibawanya, khususnya ilmu cetak. Hal ini disebabkan, saat itu  bangsa Arab sangat membutuhkan teknologi pembuatan kertas, tinta, dan  ilmu cetak untuk menyatukan tulisan-tulisan Arab yang ditulis pada  pelepah kurma, kulit sapi, dan kulit pohon, yang tentu saja media  menulis tersebut sangat mudah rusak, sukar dibaca, dan sukar didapat.
Dengan “oleh-oleh” dari bangsa Cina itu pulalah,  bangsa Arab kemudian mendapatkan kemudahan untuk menyatukan ayat-ayat  Suci Al Qur’an yang diturunkan Allah yang semula juga dicatat bertebaran  di pelepah kurma, kulit unta dan lain-lain. Sebaliknya orang-orang Cina  kembali ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh” ajaran Islam.
Ajaran Islam tersebut kemudian disebarluaskan pada masyarakat Cina  yang sudah  ditulis di atas kertas dengan tinta serta dicetak dalam  jumlah yang banyak. Dapat disimpulkan bahwa bangsa Cina termasuk yang  telah mempelopori penyebaran ajaran Islam keluar dari wilayah Timur  Tengah dan menyebarkannya ke  wilayah Asia lainnya, termasuk nantinya ke  wilayah Indonesia yang ada di selatan Cina.
Mulailah  orang-orang Cina berdatangan ke Indonesia bukan hanya  berdagang, namun seperti ketika mereka ke Arab, orang-orang Cina yang  datang ke Indonesia juga membawa “oleh-oleh” kebudayaan mereka,  teknologi pembuatan kertas dan tinta serta ilmu cetak- mencetak ditambah  ajaran Islam yang baru mereka peroleh dari Arab.
Oleh karena itu pada abad ke 7, ajaran Islam mulai dikenal di  Nusantara, khususnya di Jawadwipa (kini Jawa), mereka mendarat di Pantai  Banten dan menyebarkan Islam di sana. Selain mendarat di Banten, mereka  juga ada yang mendarat di Caruban (kini dikenal dengan nama Cirebon)  melalui pelabuhan Muharajati yang semula merupakan pelabuhan pusat  perdagangan Kerajaan Padjajaran dan Pakuan.
Saat kedatangan orang-orang Cina di Bogor, Kerajaan Tarumanegara  sudah berdiri dan mereka menyebutnya To-lo-mo (Ta-ru-ma menurut lidah  mereka). Di Jawa Tengah mereka mendarat di Semarang dan menyebarkan  Islam ke Glagahwangi yang di kemudian hari dikenal sebagai Kerajaan  Demak yang dipimpin oleh Pangeran Patah (lebih dikenal Raden Patah). Di  daerah ini pula dikenal adanya seorang sultan yang ketika wafat  dimakamkan di Gunung Muria sehingga dikenal sebagai Sunan Muria.
Di Jawa Timur mereka mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satu dari  mereka kemudian menjadi Wali, yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.  Putra dari Sunan Ampel pun menjadi Wali, yaitu Sunan Bonang. Sunan Ampel  dan Sunan Bonang lebih dikenal dengan nama pribumi. Hal ini dimaksudkan  untuk mempermudah masuknya ajaran Islam di masyarakat Jawa. Di Gresik  terdapat makam Sunan Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi.
Di Jawa Tengah (dekat Semarang) mereka mendirikan Klenteng Sam  Po-Kong. Di klenteng inilah ditemukan catatan sejarah tentang masuknya  Cina ke Jawa, serta uraian bahwa  para wali dan tokoh-tokoh pahlawan pun  sebagian adalah orang keturunan Cina, misalnya Adipati Unus, Panembahan  Jim Bun, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan lain-lain.
Prof. Dr. Slamet Muliana telah meneliti dan menghimpun sejarah  masuknya Cina ke Jawa yang dibawa para pedagang Cina itu dan dibukukan.  Bahkan di dekat Jepara mereka memugar Kerajaan Holing yang dikalangan  masyarakat Jawa lebih dikenal dengan nama Keling atau Kalingga.
Nama lain dari Holing adalah Chepo (Jawa). Kerajaan ini dipimpin oleh  seorang raja putri yang bernama Ratu Shima. Ratu Shima adalah seorang  ratu keturunan Cina. Di sekitar Semarang kemudian berdiri  kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan di kawasan inipun  terdapat makam Sunan Demak, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Giri, dan  lain-lain.
Di Banten ada sebuah peninggalan kuno bangsa Cina yaitu klenteng yang  saat ini merupakan Vihara Budha. Selain orang keturunan Cina yang  sering berkunjung kesini banyak pula para turis macanegara dan lokal  mengunjungi klenteng ini, karena mereka ingin melihat klenteng Cina yang  dibangun pada masa sultan Banten dan konon klenteng tertua di  Indonesia.
Dari beberapa petugas serta pengawas klenteng itu, diperoleh  keterangan serupa bahwa Kleteng kami tertua di Jawa, juga di Indonesia  ! ujar Sha Ceng (55 tahun) pengawas sehari-hari klenteng itu.
Dahulu kampung Pabean memang banyak dihuni oleh orang-orang Cina  daerah pelabuhan itu sangat ramai tetapi jauh dari tempat sembahyangnya  orang Cina oleh karena itu kerajaan Banten memberikan bangunan kepada  orang-orang Cina di Pabean sebuah bangunan besar bekas kantor bea  (douane) pada masa VOC di pelabuhan Banten. Bangunan bekas kantor douane  itu kemudian di rubah menjadi klenteng dengan nama Bio Hud Couw.
Keterangan ini hampir sama dengan yang dipaparkan oleh She Cang bahwa  klenteng yang dijaganya sejak tahun 1963 sampai sekarang, semula rumah  biasa milik seorang Kapten VOC yang diserahkan untuk dijadikan tempat  sembahyang orang Cina, dan pada saat itu orang Cina di Banten lebih dari  1300 kepala keluarga.
Kemudian dalam proses selanjutnya bangunan klenteng itu mengalami  perluasan beberapa puluh meter di areal kosong bagian kiri kanan banguan  juga bagian depan maupun belakang bangunan tersebut, sedangkan di ruang  lainnya yang melengkapi beberapa tempat penampungan para jemaah  klenteng.
Pembangunan yang terus dilakukan secara bertahap di sekitar klenteng  memang tidak merubah keaslian klenteng itu sendiri apa lagi yang  terletak dibagian tengah klenteng karena digunakan sebagai altar.
Meskipun klenteng ini sudah berusia 500 tahun, kesan tua dan  membosankan untuk di pandang memenag tidak terpancar sama sekali di  banguanan ini, hal ini lebih banyak disebabkan selain karena perluasan  bangunan di sekitar bangunan asli klenteng juga beberapa pengaruh warna  cet merah dengan kombinasi warna kuning yang menyala. Cat yang banyak  melekat didinding tiang serta kusen lainya memeang sering diperbaharui.  Agar warna cat tidak mudar dan tetap indah dipandang para pengunjung.
Lokasi klenteng Cina ini terletak di sebelah barat bangunan Benteng  Speelwijk (Benteng yang dibuat Belanda), berjarak puluhan meter saja  karena dipisahkan oleh sebuah parit. Klenteng ini di bangun pada masa  awal Kerajaan Banten, waktu itu Banten dikenal sebagai pelabuhan  rempah-rempah.
Bangunan klenteng ini memiliki ciri khas tersendiri sama seperti  bangunan-bangunan bersejarah di Banten pada umumnya, tetapi bangunan  klenteng amat terpelihara dengan baik dan masih berfungsi sebagai tempat  peribadatan para pemeluk agama Budha hingga kini bahkan dalam  perkembangannya di sekitar klenteng ini sekarang cukup banyak berdiri  penginapan yang khusus di bangun untuk menampung para pengunjung  klenteng dari luar kota yang ingin bermalam.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa  Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun  banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk  berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan  lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu  Cina yang rata-rata berukuran 300 ton.
Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang  dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain  sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran  (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup  meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran  imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer,  1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di  Baten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim  arkeolodi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou =  Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk  kesetabialn dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui  huruf Manchu yang artinya tidak diketahui.
Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat,  diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60  cm. (Halwany, 1993:36)
Pengaruh budaya Tionghoa dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari   seperti makanan terlihat jelas. Di antarnya seperti tahu, tempe, bakso,  bakwan, bakpao, bakpia, lontong cap go meh. Budaya-budaya Tionghoa juga  masuk dalam arsitektur seluruh masjid di sana berarsitektur Tiongkok.  Hal itu sangat berbeda dengan arsitektur masjid di Indonesia.
Selain itu, akulturasi budaya juga tampak  dalam bedug. Alat penanda azan itu ternyata berasal dari Tiongkok.  Sampai sekarang pun, tidak pernah ada bedug di Arab untuk penanda azan  salat lima waktu. Kemudian atap pagoda di Masjid Banten. Lalu budaya  membakar petasan saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri yang asalnya  dari Tiongkok. Budaya-budaya inilah yang sekarang sudah membaur atau  berakulturasi dengan budaya lokal.  Orang Tionghoa zaman dulu sudah  mengenal puasa. Bahkan, jauh sebelum agama-agama lain masuk ke sana.  Agama purba yang ada di Tiongkok dikenal dengan Thao Lik atau agama  kebajikan atau ajaran kebajikan.
Sebagaimana sudah disebutkan, kedatangan mereka di Pantai Utara Jawa  itu di samping menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena  itu di Sunda Kelapa (Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka  berbaur dengan kebudayaan penduduk asli yng kemudian menyebut diri  mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini, kita mengenal kesenian  cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya Cina dan  Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi.
Musik Tanjidor yang merupakan musik khas  Betawi pun beberapa alat musiknya menggunakan alat musik khas Cina,  seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian pengantin Betawi, yang  mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina  pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari  serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh  (tee).
Selain itu makanan-makanan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia  pun banyak yang berasal dari bahasa Cina, seperti bakmie, bakpao, bakso,  bakpya, bakwan dan lain-lain, dan tentunya masyarakat kita tidak lagi  mempermasalahkan atau memikirkan dari mana asal makanan yang enak  tersebut. Hal ini disebabkan sudah akrabnya makanan-makanan tersebut di  kalangan masyarakat Indonesia Tentu saja di samping makanan juga  minuman,seperti misalnya daun teh, di mana tanaman ini dikenal berasal  dari Cina Selatan. Budaya Betawi dan budaya suku-suku lainnya di  Indonesia seperti budaya Sunda, budaya Jawa, adalah sebagian dari akar  budaya Indonesia. Jadi budaya Cina yang berakulturasi dengan budaya  suku-suku di Indonesia juga merupakan budaya Indonesia.
Pendatang Cina dan kebudayaannya berkembang pesat di Nusantara.  Kini mereka menjadi suku tersendiri yang disebut Suku Tionghoa.  Sesungguhnya suku ini sama kedudukannya  dengan Suku Jawa, Suku Sunda,  Suku Madura, dan lain-lain karena suku ini sama-sama beranak cucu dan  sudah menghuni bumi Nusantara setidaknya sejak abad ke 7. Sehingga  mereka sebenarnya sama-sama sebagai warga negara Indonesia.
Disahkannya UU RI No.12 tahun 2006 (yang menggantikan UU No. 62 tahun  1958) serta dihapusnya kewajiban orang Tionghoa di Indonesia untuk  memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) melalui  keputusan presiden No. 56 tahun 1996. memperkuat kedudukan suku Tionghoa  di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.  Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” berbeda-beda  namun tetap satu. Maka suku-suku di Indonesia tak terkecuali suku  Tionghoa merupakan suku yang telah banyak  memperkaya kebudayaan  Nusantara.
Sumber: http://humaspdg.wordpress.com/ 
 
0 komentar:
Posting Komentar