Sebelum pertengahan kedua abad ke 20, orang Tionghoa di Jawa sebagian  besar terdiri dari para pedagang dan pengrajin Hokkian. Hal ini  disebabkan karena alat transportasi yang sulit didapat dari dan menuju  Cina daratan serta dekrit dari kekaisaran Dinasti Ching yang secara  resmi melarang orang Tionghoa untuk meninggalkan dan masuk kembali ke  negeri Cina sampai dengan tahun 1860. Maka itu imigrasi masal ke Jawa  tidak pernah terjadi.
Orang Tionghoa laki-laki yang sampai ke Jawa tidak membawa keluarga  mereka tetapi kawin dengan perempuan pribumi dan menetap. Dalam  perjalanan waktu, tumbuhlah satu masyarakat Tionghoa peranakan yang  nyata dan mantap. Kaum lelakinya memakai “theng-sha” (bahu panjang  Cina), sedangkan kaum wanitanya memakai kebaya dan dibesarkan seperti  ibu-ibu mereka. Kaum peranakan biasanya tidak berkomunikasi dengan  menggunakan bahasa Cina, tetapi menggunakan bahasa setempat.
Sekalipun kaum Tionghoa peranakan sebagian terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka tetap terpisah dari golongan-golongan ras lainnya, terutama akibat struktur masyarakat colonial yang dibentuk oleh Belanda. Golongan Eropa menempati tempat teratas, golongan timur asing (Vreemde Oosterlingen) di tengah dan golongan pribumi (Inlanders) di lapisan bawah.
Belanda merangsang setiap golongan ras untuk mempertahankan cara  berpakaian dan adat istiadatnya. Kecuali mendapat izin, penggunaan  pakaian barat oleh golongan bukan Eropa dan pemotongan kuncir khususnya  bagi orang Tionghoa dilarang.
Menjelang tahun 1893, ada 248.484 orang Tionghoa di Jawa, diantaranya  135.222 orang adalah lelaki. Mereka menduduki pekerjaan seperti  pedagang (26.713). pengrajin (10.514), pengumpul pajak/pacht (4.336),  pengusaha angkutan (1.053) dan lain-lain. Gengsi social mereka adalah  sesuai dengan rasnya, kecuali 28 orang yang diberi status sama dengan  orang Eropa, semuanya diberi status kelas dua oleh penguasa kolonial  Belanda.
Penetapan zona (wijkenstelsel) dan system surat jalan (passenstelsel)  mewajibkan orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah-wilayah yang  ditentukan dan dilarang untuk berpergian ke luar wilayah tersebut  kecuali dilengkapi dengan surat jalan. Dalam masalah hukum, bersama  dengan golongan timur asing lainnnya, dikelompokkan bersama-sama dengan  lapisan pribumi, Mereka diadili di Pengadilan Polisi (Politierol) untuk  pelanggaran kriminal dan di Pengadilan Pribumi (Landraad) untuk  pelanggaran-pelanggaran berat.
Selama kurun waktu yang sama, nasionalisme Cina telah menyebar di  seluruh Asia Tenggara. Satu kelompok pembaharu di Cina, “Hsing Chung Hui  (Society for Regenerating China)” yang dipimpin oleh dr. Sun Yat Sen,  telah gagal dalam usahanya menjadikan negeri itu suatu kerajaan yang  konstitusional pada tahun 1895, para eksponen pembaharu tersebut telah  mencari perlindungan di beberapa negeri Asia, terutama di Asia Tenggara  dan menjadikan Singapura sebagai pangkalan baru bagi kegiatannya.
Dari sinilah pengaruh mereka sampai ke tanah Jawa dan mendorong orang  Tionghoa di Pulau Jawa khususnya meninjau kembali identitasnya. Satu  identifikasi baru dengan kebangsaan Cina timbul dan nasionalisme mulai  tumbuh sebagai suatu sentimen yang kuat di kalangan orang Tionghoa  Hindia Belanda.
Salah satu perintis Nasionalisme Cina di Pulau Jawa adalah Tiong Hoa  Hwee Koan (THHK-Perhimpoenan Tionghoa) yang mendirikan sekolah-sekolah  yang berbahasa pengantar Cina (Tiong Hoa Hak Tong). Setelah itu disusul  dengan timbulnya surat-surat kabar Tionghoa peranakan, misalnya Li Po  (1901) di Sukabumi, Perniagaan (1903) di Batavia, Pewarta Soerabaia  (1902) di Surabaya, Djawa Tengah (1909) di Semarang dan Sin Po (1910) di  Batavia.
Setelah pemunculan sekolah-sekolah berbahasa Cina dan surat-sura  kabar Melayu-Tionghoa, mendorong lebih lanjut rasa nasionalisme serta  memperkuat perkembangan Pan-Cina, yaitu mempersatukan orang Tionghoa  Hinda Belanda yang terdiri dari berbagai macam kelompok dan mengarahkan  orientasinya secara kultural dan politik ke negeri Cina.
Gerakan Cina Raya ini berkembang dengan pesat, dan pada tahun 1907,  Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) telah terbentuk di berbagai kota di  Jawa. Kaum peranakan dan totok memegang pimpinan bersama, tetapi  nampaknya jumlah kaum totok lebih banyak dibandingkan jumlah peranakan.  Juga pada tahun 1907, Tung Meng Hui (Partai Revolusioner dr. Sun Yat  Sen) membentuk cabang di Pintu Kecil, suatu lingkungan tempat tinggal  kaum totok di Batavia.
Cabang ini segera mengubah namanya menjadi Chi-Nan She (Klub  Pengembara Nanyang) dan mulai membangun taman-taman bacaan atau Soe Po  Sia di Hindia Belanda, yang bertujuan untuk menyebarluaskan  doktrin-doktrin revolusioner. Tidak hanya taman bacaan tetapi juga  menyelenggarakan diskusi dan ceramah, yang menggunakan bahasa Cina  (dengan dialek Hakka atau Kanton) sebagai bahasa perantara. Maka itu  tidak banyak kaum peranakan yang ikut serta.
Gerakan Cina Raya menimbulkan kekhawatiran bagi penguasa kolonial  Belanda. Kemudian mereka mendirikan Biro Urusan Cina yang bertujuan  untuk memberi nasehat kepada pemerintah atas politiknya terhadap orang  Tionghoa setempat. Banyak ahli Belanda yang mempelajari kultur  Tionghoa-Belanda seperti, L.W.H. van Sandick dan P.H. Fromberg.
Bisa dimengerti bahwa Belanda mulai menghilangkan beberapa keluhan  orang Tionghoa. Dengan undang-undang tahun 1907, orang Tionghoa dapat  memperoleh status Eropa. Hollandsche Chineesche School (HCS), sekolah  berbahasa Belanda untuk anak-anak Tionghoa dengan model Eropa didirikan  pertama kali tahun 1708.
Pada tahun 1910, Undang-undang tentang Kaula Negara Belanda (Wet op  het Nederlands ch Onderdaanschaap-WNO) diberlakukan, yang menurut  undang-undang tersebut kaum Tionghoa peranakan dianggap sebagai kaula  Belanda (onderdanen). Tahun 1913, Belanda mulai menghapuskan dasar-dasar  hukum diskriminasi. Pengadilan Polisi dihapuskan pada tahun 1914,  sistem penetapan wilayah tempat tinggal dan surat jalan dilonggarkan dan  pada akhirnya dihapuskan pada tahun 1917. Bahkan di tahun yang sama  orang Tionghoa berstatus Eropa mempunyai hak pilih di Volksraad.
Dalam perjalanan waktu, politik Belanda terbukti efektif dalam  menggalang kaum Tionghoa peranakan untuk berorientasi ke Hindia Belanda  dalam jumlah yang signifikan. Lebih banyak anak kaum peranakan mulai  memasuki sekolah-sekolah Belanda, sekalipun sekolah-sekolah THHK masih  tetap populer. Selama perang dunia pertama, banyak sekali orang Tionghoa  peranakan mulai menyisihkan diri dari gerakan Pan-Cina dan lebih  berorientasi ke Hindia Belanda. Tetapi kelompok yang berkiblat ke Hindia  Belanda ini dikalahkan dalam pertempuran pertama, yaitu dalam  Konferensi Semarang tahun 1917.
Konferensi Tionghoa Hindia Belanda tahun 1917 diadakan berkaitan  dengan pemilihan anggota Volskraad tahun 1918, untuk menentukan wakil  golongan Tionghoa. Namun demikian suara masyarakat Tionghoa-Hindia  Belanda terbagi dua dalam konferensi tersebut.
Sebagian menghendaki agar masyarakat Tionghoa memiliki perwakilan di  Volksraad, suara yang menyetujui ini diwakili oleh seorang tokoh  Tionghoa Peranakan, H.H. Kan. Dan sebagian lagi menentang, serta  mengajak masyarakat Tionghoa-Hindia Belanda bersatu tidak mengurusi  masalah politik ”setempat”, namun berkontribusi untuk kepentingan  Nasionalisme Cina Daratan. Kelompok penentang ini disebut sebagai  ”Kelompok Sin Po”, dengan Hauw Tek Kong dan The Kian Sing sebagai  tokoh-tokohnya.
The Kian Sing menggambarkan Volksraad sebagai jebakan kolonial dan  tidak mewakili kelompok Tionghoa Hindia Belanda, pidatonya berhasil  mempengaruhi para peserta dan mengobarkan rasa nasionalisme Cina  (daratan). Terdengar teriakan, ”Jangan ambil bagian dalam Volksraad”,  ketika The Kian Sing mengakhiri pidatonya.
Konferensi itu menunjukkan bahwa orang Tionghoa Belanda menaruh  perhatian atas politik Hindia Belanda, tetapi tidak bersatu dalam  pandangan mereka. Kebanyakan dari mereka tetap diilhami oleh  nasionalisme Cina (daratan) dan percaya bahwa kebangsaan tidak dapat  dipisahkan dari ras serta berharap perlindungan dari negeri Cina.  Golongan Tionghoa-Hindia Belanda sendiri baru menempatkan wakilnya (2  orang) di Volksraad pada periode 1924-1927, dimana mereka yang diangkat  berasal dari kelompok Chung Hwa Hui, persatuan/komunitas pelajar  Tionghoa-Hindia Belanda yang belajar di Belanda dan berpusat di Leiden.
Sumber Bacaan:
- Politik Tionghoa Peranakan di Jawa. Leo Suryadinata. Pustaka Sinar Harapan. 1994
- Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. A.K.Pringgodigdo. Dian Rakyat.1984

 
0 komentar:
Posting Komentar